Hulu Segala Maksiat dan Ketaatan

Hulu Segala Maksiat dan Ketaatan


Hikmah Ketiga Puluh Enam

أَصْلُ كُلِّ مَعْصِيَّةِ وَغَفْلَةٍ وَشَهْوَةٍ الرِّضَا عَنِ النَّفْسِ. وَأَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَيَقِظَةٍ وَعِفَّةٍ عَدَمُ الرِّضَا عَنْكَ عَنْهَا

“Hulu segala maksiat, kelalaian dan syahwat adalah memperturutkan hawa nafsu. Sedangkan Hulu segala ketaatan, kewaspadaan dan kesucian diri adalah ketidak inginanmu memperturutkannya.”


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Ketika Anda melakukan maksiat yang membuat Anda jauh dari Allah Swt, atau ketika Anda lalai beribadah sehingga Anda terhijab dari-Nya, atau ketika Anda mengikuti syahwat yang membiat Anda terhalang mencapai-Nya, maka itu tidak lain hanyalah akibat hawa nafsu yang Anda perturutkan. 

Bagaimanapun, hawa nafsu itu tidak akan pernah rela dan membiarkan Anda berada di titik aman keimanan. Ia adalah senjata utama setan. Berapa banyak Ahli Ibadah yang berada di puncak Marifatnya, kemudian jatuh sehina-hinanya dalam lumpur kemaksiatan, karena tidak mampu menahan hawa nafsu yang bersarang dalam dirinya.

Sebaliknya, ketika Anda menjalani kehidupan ini dengan penuh ketaatan, kewaspadaan dan Iffah, maka itu adalah efek dari ketidak inginan Anda menuruti hawa nafsu. Keadaan seperti ini akan mebuat hati Anda bercahaya dan bersinar terang, sehingga Anda semakin dekat dengan-Nya dan berhak mendapatkan cahaya-Nya. Lama-kelamaan, Anda akan mampu mengetahui hikmah dan rahasia di balik peristiwa, karena mata hati Anda sudah terbuka dan hijab yang menutupi Anda sudah lenyap

Meninggalkan Sifat Manusiawi

Meninggalkan Sifat Manusiawi


Hikmah Ketiga Puluh Lima

اخْرُجْ مِنْ أَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِضٍ لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِ الْحَقِّ مُجِيْبًا وَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا

“Keluarlah dari sifat-sifat manusiawimu, yaitu dari semua sifat yang kontradiksi dengan sifat Ubudiyyahmu, agar engkau bisa menyambut seruan Allah Swt dan dekat dari hadirat-Nya.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Wahai hamba Allah Swt, bebaskanlah dirimu dari sifat-sifat kemanusiaan yang tercela dan terhina, seperti suka mengikuti syahwat, bakhil, cinta harta dan sebagainya, agar Anda bisa biaa menyambut perintah-Nya dan semakin dekat dengan-Nya. 

Selama Anda masih berpakaiankan syahwat, maka jarak Anda akan semakin jauh dari-Nya, dan cahaya-Nya akan semakin redup di hatimu. Tinggalkanlah sifat jelek yang mirip dengan sifat kebinatangan itu, agar Anda mulia di hadapan penduduk bumi dan mulia di hadapan penduduk langit. 

Manusia itu memiliki potensi lebih baik dari para Malaikat, yaitu ketika mereka menanggalkan semua sifat jeleknya dan menjalankan semua perintah-Nya. Dan mereka juga berpotensi lebih buruk dari binatang, yaitu jikalau mereka hanya mau mengikuti hawa nafsunya dan berpaling dari aturan-aturan yang ditetapkan-Nya. 

Pilihan ada di tangan Anda. Dia sudah menunjukkan jalan kebenaran dan jalan kemaksiatan. Dan Anda memiliki akal untuk menentukannya

Terhijab

Terhijab


Hikmah Ketiga Puluh Empat

الْحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ, وَإِنَّمَا الْمَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِ, إِذْ لَوْ حَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ مَا حَجَبَهُ. وَلَوْ كَانَ لَهُ سَاتِرٌ لَكَانَ لِوُجُوْدِهِ حَاصِرٌ وَكُلُّ حَاصِرٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قَاهِرٌ. وَهُوُ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

“Allah Swt tidak terhijab, akan tetapi engkaulah yang terhijab melihat-Nya. Karena jikalau ada sesuatu yang menghijab-Nya, maka Dia akan menutup apa yang menghijabnya itu. Jikalau ada penutup-Nya, berarti wujud-Nya terbatas. Sesuatu yang membatasi sesuatu lainnya, tentu ia menguasainya. Dan Dia Maha Kuasa terhadap para hamba-Nya.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Allah Swt tidak pernah terhijab, atau ada sesuatu yang menghalangi-Nya. Jikalau Anda tidak pernah mendapati-Nya dan menyaksikan cahaya-Nya, maka Andalah yang terhijab dari-Nya. Ini tidak akan terjadi, kecuali karena mata hati Anda telah buta dan tertutupi maksiat. Ibarat cermin, hati Anda sudah dipenuhi karat dan kotoran. Semakin Anda bermaksiat, maka mata hati Anda akan semakin buta. 

Apa gunanya mata melihat, jikalau hati tidak mengenal hidayah-Nya. Anda akan tersesat dan akan terus tersesat di lembah kehinaan. Tidak ada jalan lain, kecuali kembali kepada-Nya dan bertaubat Nashuha, agar cahaya-Nya kembali diberikan-Nya. Dia adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 

Jikalau ada sesuatu yang menghijab-Nya, maka hijab itu akan dihilangkan-Nya, bahkan dihancurkan-Nya. Dia tidak akan mampu dihijab selama-lamanya, karena kekuasaan-Nya tidak terbatas. Dan ini berbanding terbalik dengan makhluk-Nya, yang hanya memiliki kemampuan terbatas. 

Sekuat apapun Anda, sebanyak apapun harta Anda dan sebebesar apapun kekuasaan Anda, maka Anda tetaplah budak-Nya dan hamba-Nya yang harus berbakti dan mengabdikan diri kepada-Nya. Jikalau Anda ingkar, maka azad-Nya siap menanti, baik di dunia maupun di akhirat kelak.  

Mengenal Aib Diri

Mengenal Aib Diri


Hikmah Ketiga Puluh Tiga

تَشَوُّفُكَ إِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ الْعُيُوْبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوُّفِكَ إِلَى مَا حُجِبَ عَنْكَ  مِنَ الْغُيُوْبِ

“Keinginanmu untuk mengetahui aib-aib yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik dari keinginanmu untuk mengetahui perkara-perkara ghaib yang tersimpan di dalam dirimu.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Keinginan Anda untuk mengetahui dan melepaskan semua sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri Anda, seperti iri, dengki, loba, pelit dan sebagainya, jauh lebih baik daripada Anda sibuk mencari perkara-perkara ghaib yang ada di dalam diri Anda, seperti kekuatan tersembunyi atau kemampuan lainnya yang tidak kasat mata. 

Perbaikilah diri Anda terlebih dahulu, karena ia akan menentukan perjalanan Anda menuju ke hadirat-Nya. Jangan pernah lalai menjalankan perintah-Nya, karena disitulah sumber kebahagiaan sebenarnya. Dekatkanlah dirimu dengan-Nya, maka Dia akan dekat kepadamu. 

Menuju Cahaya Allah Swt

Menuju Cahaya Allah Swt


Hikmah Ketiga Puluh Dua

اهْتَدَى الرَّاحِلُوْنَ إِلَيْهِ بِأَنْوَارِ التَّوَجُّهِ, وَالْوَاصِلُوْنَ لَهُمْ أَنْوَارَ المْوَاجَهَةِ, فَالْأَوَّلُوْنَ لِلْأَنْوَارِ وَهَؤُلَاءِ الْأَنْوَارُ لَهُمْ, لِأَنَّهُمْ لِلَّهِ لَا لِشَيْءٍ دُوْنَهُ. قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ

“Orang-orang yang berjalan menuju Allah Swt, mendapatkan hidayah/petunjuk dengan cahaya menghadapkan wajah kepada-Nya. Dan orang-orang yang sampai kepada-Nya mendapatkan cahaya berhadapan dengan-Nya. Orang-orang yang pertama bergerak untuk mendapatkan cahaya, sedangkan (kelompok kedua) cahaya bergerak menuju mereka, karena mereka mempersembahkan dirinya untuk-Nya, bukan selain-Nya. Katakanlah Allah, kemudian biarkan mereka bermain dengan kesibukannya.”


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Orang yang berjalan menuju Allah Swt, yaitu dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, maka ia akan mendapatkan petunjuk dengan cahaya-cahaya ibadah yang dikerjakannya. Ketika dia shalat, maka dia mendapatkan hidayah dengan shalat yang dikerjakannya. Ketika dia puasa, maka dia mendapatkan hidayah dengan puasa yang dikerjakannya. 

Ini berbeda dengan orang yang telah sampai kepada-Nya, yaitu mencapai tingkatan Marifat. Dia berhak mendapatkan cahaya-Nya, sehingga ia tidak akan pernah tersesat ke kegelapan hidup, di kejahilan masa dan mengetahui rahasia-rahasia yang ada di balik sebuah perstiwa. 

Golongan pertama adalah orang-orang yang masih berusaha mendapatkan cahaya-Nya dan masih akan menempuh perjalanan panjang. Sedangkan golongan kedua adalah orang-orang yang telah mendapatkan cahaya-Nya, dan merekalah yang berhak menyandang gelar Waliyullah. 

Katakanlah Allah Swt sebagai Tuhanmu. Sembahlah diri-Nya dan jangan pernah mengabaikan perintah-Nya. Biarkanlah orang-orang yang lalai dengan dunianya terus sibuk dan jangan sampai terpedaya. Itu hanyalah godaan dan hidayah setan, yang akan menyengsarakan Anda di dunia dan di akhirat

Berinfak

Berinfak


Hikmah Ketiga Puluh Satu

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ, الْوَاصِلُوْنَ إِلَيْهِ, وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ, السَّائِرُوْنَ إِلَيْهِ

“Hendaklah orang yang memiliki kepalangan harta berinfaq sesuai kemampuannya, ditujukan kepada orang-orang yang telah sampai kepada Allah Swt. Dan barangsiapa yang disempitkan rezkinya, (hendaklah menginfakkan apa yang dikaruniakan kepadanya) kepada orang-orang yang berjalan menuju-Nya.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Hendaklah orang yang memiliki kelapagan harta berinfak dan bersedekah kepada orang-orang yang telah mencapai tingkatan Marifat, yaitu mampu mengenal rahasia di balik suatu peristiwa; padahal orang lain tidak mampu melakukannya. Biasanya, orang yang mencapai tingkatan ini sudah mencapai tingkatan Wali Allah. Hanya saja, kadang-kadang masyarakat salah faham mengenai maksudnya, sehingga mereka menilai setiap orang yang mampu melakukan perkara-perkara luar biasa adalah wali-Nya. Kenyataannya, bukanlah seperti itu. Banyak di antara orang yang mengaku kyai dan ulama, dengan pakaian yang melambangkan keshalehan justru terlibat dalam kesyirikan. 

Dan hendaklah orang yang rezkinya terbatas atau sempit, menginfakkan sebahagian hartanya kepada orang-orang yang sedang beribadah dan berjalan menuju Allah Swt, yaitu orang-orang yang belum mencapai tingkatan Marifat.  

Dalil Mengenai Allah Swt

Dalil Mengenai Allah Swt


Hikmah Ketiga Puluh

شَتَّانَ بَيْنَ مَنْ يَسْتَدِلُّ بِهِ أَوْ يَسْتَدِلُّ عَلَيْهِ. الْمُسْتَدِلُّ بِهِ عَرَفَ الْحَقَّ لِأَهْلِهِ فَأَثْبَتَ الْأَمْرَ مِنْ وُجُوْدِ أَصْلِهِ. وَالْاِسْتِدْلَالُ عَلَيْهِ مِنْ عَدَمِ الْوُصُوْلِ إِلَيْهِ. وَإِلَّا فَمَتَى غَابَ حَتَّى يُسْتَدَلَّ عَلَيْهِ وَمَتَى بَعُدَ حَتَّى تَكُوْنَ الْآثَارُ هِيَ الَّتِي تُوْصِلُ إِلَيْهِ

“Alangkah jauhnya perbedaan antara orang yang berdalil dengan Allah Swt untuk menunjukkan yang lainnya, dengan orang yang berdalil dengan yang lainnya untuk menunjukkan-Nya. Orang yang berdalil dengan-Nya mengenal kebenaran adalah milik Pemiliknya. Kemudian dia menetapkan segala perekara berdasarkan asalnya. Sedangkan berdalil dengan selain-Nya merupakan bentuk yang tidak akan sampai kepada-Nya. Betapa tidak! Kapankah Dia ghaib, sehingga dibutuhkan yang lainnya untuk menunjukkan diri-Nya. Dan kapankah Dia jauh, sehingga benda-benda yang ada dijadikan sarana untuk menunjukkan-Nya.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Alangkah jauhnya perbedaan di antara seseorang yang berdalil dengan Allah Swt untuk menunjukkan apa yang ada di alam semesta, dengan orang yang berdalil dengan alam semesta untuk menunjukkan keberadaan-Nya. Dia adalah Zat yang Maha Sempurna dan Maha Pencipta. Apapun yang ada di dunia ini dan seluruh jagad ini adalah ciptaan-Nya. 

Orang jenis pertama adalah tipe orang yang mengenal kebenaran. Ia mengakui bahwa Allah Swt adalah Zat yang Qadim dan Awwal. Dan ia yakin bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu yang ada setelah-Nya. Jikalau tidak ada diri-Nya, tentu tidak ada makhluk setelah-Nya. Dia adalah Zat yang berdiri sendiri, dan bukan makhluk. 

Sedangkan orang jenis kedua adalah tipe yang lemah keimanan-Nya. Dia baru bisa mengimani-Nya jikalau melihat ciptaan-Nya. Seharusnya, bukan seperti itu. Yakinilah diri-Nya sebagai Pencipta, maka Anda akan menyakini bahwa seluruh yang ada adalah ciptaan-Nya. 

Allah Swt itu selalu ada dan berada di dekat hamba-Nya, bahkan lebih dekat dari urat leher. Bukalah hijab yang menutup hati Anda, maka Anda akan mengenal-Nya

Sunnah Bernafas Ketika Minum

Sunnah Bernafas Ketika Minum


Ketika minum, salah satu sunnah yang dijaga oleh Rasulullah Saw, tidak lansung minum banyak sekali teguk dan memuaskan dahaga. Ini berkebalikan dengan kebiasaan sebagian besar kita yang kalau minum, sekali teguk dan lansung memuaskan dahaga. Bahkan, mungkin minumnya lebih dari kebutuhan. 
Kebiasaan ini bisa menyebabkan penyakit akibat lambung yang tiba-tiba lansung dipenuhi air. 
Gambaran sunnahnya begini: beliau akan mengambil air, kemudian minum sedikit dahulu dan menjauhkan gelas dari mulutnya. Kemudian, beliau kembali minum dan dan menjauhkan gelas dari mulutnya. Kemudian minum lagi untuk ketiga kalinya. Dan selesai.
Dalam hadits riwayat Muslim, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu menjelaskan, Rasulullah Saw bernafas ketika minum itu tiga kali, kemudian beliau bersabda: 
إنَّه أَرْوَى وَأَبْرَأُ وَأَمْرَأُ
"Lebih menghilangkan haus, lebih menyelamat dari penyakit, dan lebih baik (lebih berasa)."
Anas bin Malik berkata, "Aku sendiri bernafas tiga kali ketika minum." 
Sunnah Nabi ini akan memberikan kebaikan buat tubuh kita; kebutuhan airnya tercukupi, kemudian lambungnya tidak terkejut karena lansung dipenuhi banyak air. Dan yang jauh lebih penting, ini adalah Sunnahnya Nabi Muhammad Saw. [] 
Batin Mempengaruhi Zhahir

Batin Mempengaruhi Zhahir


 Hikmah Kedua Puluh Sembilan

مَا اسْتُوْدِعَ فِي غَيْبِ السَّرَائِرِ ظَهَرَ فِي شَهَادَةِ الظَّوَاهِرِ

“Sesuatu yang tersimpan di rahasia-rahasia ghaib, maka akan tampak di anggota-anggota lahir.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Apa yang Anda simpan di dalam hati Anda, maka akan kelihatan dalam kata-kata dan tingkah laku Anda. Orang yang batinnya baik, maka semua perbuatan lahirnya akan baik juga. Sebaliknya, jikalau batinnya rusak dan penuh cela, maka lahirnya juga akan rusak dan tidak mengenal moral. 

Bukan itu saja, Anda bisa mengenal seseorang itu baik atau tidak melalui wajahnya. Seseorang yang shaleh dan Ahli Ibadah akan tampak di wajahnya. Wajahnya akan bersinar dan bercahaya; walaupuan warna kulitnya gelap. Sebaliknya, orang jahat memiliki wajah kusam dan menakutkan, tidak ada cahaya sama sekali; walaupun kulitnya bening dan putih. 

Inilah yang bisa kita petik dari firman Allah Swt, yang menggambarkan ciri orang mukmin: 

“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” [Al-Fath: 29]

Dan lihat juga, bagaimana Dia menggambarkan ciri-ciri orang munafik dari perbuatannya: 

 “Dan kamu benar-benar akan Mengenal mereka dari kiasan-kiasan Perkataan mereka.” [Al-Munafiqun: 30]

Awal Menentukan Akhir

Awal Menentukan Akhir


Hikmah Kedua Puluh Delapan

مَنْ أَشْرَقَتْ بِدَايَتُهُ أَشْرَقَتْ نِهَايَتُهُ

“Barangsiapa yang awalnya bersinar, maka akhirnya juga akan bersinar.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Barangsiapa yang menjalani kehidupannya semenjak awal berdasarkan sunnah, maka ia akan Istiqamah dan mendapatkan akhir kehidupan yang baik. Dan barangsiapa yang awal kehidupannya sudah dipenuhi Bid’ah, maka akhirnya akan mendapatkan kesengsaraan dan derita tiada akhir. 

Hikmah ini juga bisa dipakai untuk seseorang yang sedang belajar atau usaha. Maksudnya, seseorang yang bekerja keras dan bersemangat menjalani kehidupan studynya, maka dia akan mendapatkan masa depan yang baik. Sebaliknya, seseorang yang memulai studynya dengan malas-malasan dan tidak mengenal waktu, maka dia akan mendapatkan masa depan yang curam. Begitu juga halnya dengan bisnis, barangsiapa yang di awalnya sudah bekerja keras dan banting tulang, maka dia akan mendapatkan hasil yang baik dan keuntungan yang besar. Sebaliknya, seorang pebisnis yang malas-malasan, maka dia hanya akan bisa meratapi kegagalannya dan kerugian yang tidak terhingga. 

Awal sesuatu akan menuntukan akhirnya. Ahli ibadah akan berakhir dengan Husnul Khatimah. Dan Ahli Maksiat akan berakhir dengan Suul Khatimah.