Hukum Jual-Beli Lelang (Bai’ al-Muzāyadah)

Hukum Jual-Beli Lelang (Bai’ al-Muzāyadah)


Dalam kajian Hukum Islam, Jual Beli Lelang itu dikenal dengan Istilah Bai’ al-Muzāyadah. Hukum asalnya dibolehkan (Mubāh), berdasarkan firman Allah SWT: 

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Surat al-Baqarah: 275)

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, ucapan Atha’ bin Abi Rabah: 

أدركت الناس لا يرون بأساً في بيع المغانم فيمن يزيد

“Saya mendapati orang-orang yang menganggap tidak masalah jual beli karapan bagi yang menambah (al-Muzayadah).” 

Kemudian disebutkan sanadnya dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu bahwa ada seseorang yang memerdekakan budaknya dengan cara Idbar, yaitu merdeka setelah kematiannya. Kemudian laki-laki tadi ada kebutuhan, Nabi Muhammad Saw memegangnya dan berkata: 

من يشتريه مني ؟

“Siapa yang akan membelinya dariku?”

Kemudian Nuaim bin Abdullah membelinya dengan harga segini dan segini, kemudian membayarkanya. (Hr al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw menjual al-Halas (perangkat rumah) dan Gelas, kemudian bersabda: 

“Siapa yang akan membeli al-Halas (perangkat rumah) dan Gelas?” 

Ada yang berkata: 

“Saya akan membeli keduanya seharga sedirham.” 

Kemudian beliau berkata: 

من يزيد على درهم ؟ من يزيد على درهم ؟

“Siapa yang mau melebihkan dari sedirham? Siapa yang mau melebihkan dari sedirham?”

Kemudian seorang laki-laki memberinya dua dirham, dan beliau menjual keduanya kepadanya.” (Hr al-Turmudzi)


Catatan Penting Seputar Jual Beli Lelang (Bai’ al-Muzayadah)

Ada dua catatan penting yang perlu menjadi perhatikan dalam masalah ini, agar orang yang terlibat dalam lelang tidak ragu atau tidak salah menjalaninya. 

  • Jual Beli Lelang bukanlah Bai’ ala Bai’ Akhihi (Jual beli atas Jual Beli Orang Lain)

Ada yang beranggap bahwa jual beli lelang ini masuk dalam kategori Bai ala Bai akhihi (Jual Beli atas Jual Beli Orang Lain), yang dilarang oleh sabda Rasulullah Saw: 

لا يبع بعضكم على بيع أخيه

“Janganlah salah seorang di antara kalian berjual beli atas jual beli saudaranya.” (Hr al-Bukhari dan Muslim)

Ini tidaklah benar. Sebab, jenis ini berbeda dengan lelang. Misalnya untuk jenis yang dilarang ini: Si A membeli motor kepada si B. Mereka sudah sepakat dengan harganya, namun belum ada pembayaran. Tapi sudah sepakat, tinggal eksekusi. Kemudian tiba-tiba datang si C, yang juga tertarik dengan motor tersebut, seraya berkata:

“Batalkan jual belinya. Biar saya yang beli. Saya akan beli dengan harga yang lebih mahal.” 

Ini yang dimaksudkan oleh hadits di atas. Ini haram. Dan ini tidak masuk dalam kategori akad lelang. 

  • Lelang bisa berubah menjadi jual beli al-Najasy yang diharamkan dalam Islam

Jual beli Najasy adalah seseorang menaikkan harga barang padahal ia sama sekali tidak ingin membelinya. Ia hanya ingin membuat orang lain tertarik membeli dan menawarnya dengan harga yang lebih mahal. Biasanya, pelaku al-Najasy ini ada kesepakatan dengan penjual barang. 

Hukumnya haram dalam Islam, karena mengandung unsur penipuan atau al-Gharar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah saw melarang dari al-Najasy. (Hr al-Bukhari)

Dalam lelang, ini seringkali kita dapati. Bukan begitu?!

Ada beberapa kejanggalan lainnya yang biasanya dilakukan, dan hukumnya haram: 

  • Mempromosikan barang yang dilelang dengan cara dusta, lebay, menambah-nambahkan yang tidak seharusnya, baik dilakukan pemilik barang atau orang yang sama sekali tidak ingin  membelinya.
  • Barang tidak dilihat secara lansung, hanya diberikan deskripsi saja, atau gambaran aja, tidak sesuai dengan faktanya, mengandung unsure penipuan.


Hukum Lelang Tender Proyek Dalam Islam

Pada dasarnya, setiap lelang itu hukumnya boleh, halal, Mubah. Hanya saja, jikalau sudah terjadi hal-hal yang bertentangan dengan syariat, bertentang dengan hokum Islam, maka hukumnya berubah menjadi haram. Dalam kajian hokum Islam dikenal dengan nama al-Haram bi Ghairihi (haram karena sebab yang lainnya). 

Sama kayak minum air putih. Hukumnya halal. Namun jikalau minum terus sampai kembung dan membahayakan keselamatan nyawanya, maka hukumnya berubah menjadi haram. Haramnya Haram bi Ghairi (haram karena selainnya). 

Tender Proyek juga sama. Jikalau sudah dilakukan dengan cara al-Najsy, sebagaimana yang kita jelaskan di atas. Ada permainan. Ada penipuan. Maka, hukumnya haram.

Apalagi jikalau sampai ada suap-menyuap untuk mendapatkan lelang tender, itu sudah haram banget. Sekali lagi, haramnya pakai banget. 

Rasulullah Saw bersabda: 

الراشي والمرتشي في النار

“Penyuap dan yang disuap di Neraka.” (Hr al-Thabrani)

Pointnya, Jual Beli lelang atau Bai al-Muzayadah itu tidak masalah. Asalkan jangan sampai mengandung sesuatu yang diharamkan dalam syariat, seperti yang kita jelaskan di atas. []

Hukum Bunuh Diri dalam Islam

Hukum Bunuh Diri dalam Islam


Dalam Islam, Hukum Bunuh Diri adalah haram. Ia merupakan salah satu dosa besar. Pelakunya akan ditempatkan abadi di Neraka. Tidak ada ampunan dan kemaafan. Sebab, ia sendiri sudah menutup pintu taubat bagi dirinya. 

Firman Allah SWT: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (٣٠

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah." (Surat al-Nisa: 29-30)

Dalam ayat lainnya dijelaskan: 

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Surat al-Baqarah: 195)

Dalam ayat lainnya: 

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina." (Surat al-Furqan: 68-69)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda: 

من قتَل نفسه بحديدة، فحديدته فى يده يتوجأ بها فى بطنه فى نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا، ومَن شَرِب سُمًّا، فقتل نفسه، فهو يتحساه فى نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا، ومن تردَّى من جبل، فقتل نفسه، فهو يتردى فى نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا

“Siapa yang membunuh dirinya dengan pisau, maka pisaunya akan dipegangnya dan ditusuk-tusukkannya ke perutnya di Neraka Jahannam abadi selamanya. Siapa yang meminum rancun, kemudian membunuh dirinya, maka akan menenggaknya di Neraka Jahannam abadi selamanya. Siapa yang gantung diri, maka ia akan mengantung di Neraka Jahannam abadi selamanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lainnya: 

الذى يخنق نفسه، يخنقها فى النار، والذى يطعنها، يطعنها فى النار

"Orang yang mencekik dirinya, maka ia akan mencekiknya di Neraka. Dan orang yang menusuk dirinya, maka ia akan menusunya di Neraka." (HR al-Bukhari)

Itulah beberapa dalil dari al-Quran dan hadits yang menjelaskan bahwa bunuh diri merupakan sesuatu yang terlarang dalam Islam. Hukumnya Haram. Dosa besar.


Arwah Orang yang Bunuh Diri

Arwah orang yang bunuh diri sama dengan arwah muslim lainnya. Jikalau Anda mendapati atau mendengar ada arwah orang bunuh diri yang gentayangan, itu sebenarnya bukan arwah orang tersebut, tapi bisa jadi itu adalah Jin Qarinnya. Sebab, status orang yang bunuh diri tetaplah seorang Muslim; jikalau ia memang seorang Muslim sejak awal. Bunuh diri tidak menyebabkannya keluar dari Islam. Dosa besar, iya. Kafir, tidak. 

Buktinya, orang yang bunuh diri tetap dimandikan, dishalatkan, dikuburkan, diurus layaknya kaum muslimin lainnya.

Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa ada sesoerang yang bunuh diri dihadapkan kepada Nabi Saw, kemudian beliau tidak mau menyolatkannya. (HR Muslim)

Hadits  ini dikomentari oleh Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim (7/ 47): 

“Hadits ini dimaknai agar menjauhkan diri dari upaya bunuh diri, sebagaimana beliau tidak mau menyolatkan jenazah orang yang berhutang. Para sahabat tetap menyolatkan orang yang berhutang berdasarkan perintah Rasulullah Saw. Sebab itu bertujuan untuk menghindari hutang, bukan karena ia kafir. Menurut Imam Malik, hukumnya makruh menyolatkan orang yang meninggal karena rajam, fasik, sebagai peringatan bagi yang lainnya.” 

Syeikh bin Abdullah Aziz bin Baz pernah ditanyakan, sebagaimana dimuat dalam Kitab Majmu Fatawa al-Syeikh bin Baz (13/ 122), tentang orang yang bunuh; apakah dimandikan dan dishalatkan?

Beliau menjawab: 

“Orang yang bunuh diri, mandikan dan dishalatkan, serta dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Sebab ia hanyalah pelaku maksiat, bukan kafir. Bunuh diri itu maksiat, bukan kekufuran.

Namun, selayaknya bagi Imam Besar (pemimpin)dan orang yang memiliki peranan penting, untuk tidak menyolatkannya sebagai bentuk pengingkaran, agar tidak ada orang yang menduga bahwa ia ridha dengan perbuatan tersebut. Imam besar, atau penguasa, atau Qadhi, atau kepala negara, atau Gubernur, jikalau meninggalkannya, kemudian menjelaskan bahwa ini adalah salah, maka itu lebih baik. Namun, orang yang bunuh diri tersebut, tetap dishalatkan oleh sebagian kaum muslimin.”


Siksa Kubur dan Siksa Neraka Pelaku Bunuh Diri

Siksa kuburnya sama dengan muslim lainnya pelaku dosa besar. Tidak ada dalil khusus yang menjelaskan masalah ini secara detail. Namun di akhirat kelak, ia abadi di Neraka, kemudian dihukum dengan cara yang sudah dijelaskan dalam hadits di atas; jikalau ia bunuh diri dengan cara menusuk diri, maka ia menusuk-nusuk dirinya di Neraka; jikalau ia bunuh diri dengan minum racun, maka ia menegak racun itu sedikit demi sedikit di Neraka; jikalau ia bunuh diri dengan cara gantung diri, itulah yang akan dijalaninya di Neraka kelak. Abadi selamanya. 


Catatan Tambahan

Itulah hokum Islam tentang bunuh diri. Kita berlindung kepada Allah SWT dari segala bentuk maksiat. Jangan putus asa dari rahmat Allah SWT. Hidup di dunia ini, pasti akan selalu ada masalah. Semuanya akan silih berganti; bahagia, sedih, bahagia. Senang, derita, senang. Begitilah seterusnya. Tidak ada di dunia ini yang abadi dalam satu keadaan. 

Kapan selesai dari masalah? 

Ketika Anda melangkahkan kaki pertama kali di surga. Selesai sudah semua masalah. 

Hidup hanya sementara. Mari mengabdikan diri kepada Allah SWT. Itu tugas utama kita di dunia. Masalah? Jalani dan serahkan keputusannya kepada Allah SWT, Zat yang Maha Menentukan segala. []

Hukum Golput & Ikut Mencoblos dalam Pemilu

Hukum Golput & Ikut Mencoblos dalam Pemilu


Untuk menentuka hokum masalah ini, kita harus melihat kondisi hokum negara tersebut terlebih dahulu, yang secara garis besar bisa dibagi menjadi dua: 

  • Pertama, Negara yang murni menerapkan hokum Islam. 
Semua anasirnya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT, baik undang-undangannya, aturan-aturannya, dan sebagainya. Kemudian, para Calon Pejabatnya pun memenusia syarat yang sudah ditetapkan oleh syariat, seperti al-Ilm (ada Ilmu), al-Adalah (bagus agamanya), al-Ra’y (punya ide dan pandangan), dan al-Hikmah (memiliki kebijaksanaan). 

Dalam kondisi seperti ini, tidak masalah Anda ikut Mencoblos dalam pemilu. Halal. Bahkan, wajib. 

Agar amanah tersampaikan kepada orang yang berhak memikulnya, agar tugas besar ini dijalankan oleh orang yang layak menjalankannya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: 
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Surat al-Nisa: 58)

Di antara bentuk amanah itu adalah memberikan tongkat kepemimpinan kepada ahli ilmu, ahli iman, dan ahli dalam kepemimpinan. 

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 
فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة، قال: كيف إضاعتها؟ قال: إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
“Jikalau amanah diabaikan, maka tunggulah kiamat. “ 
Ada yang bertanya: 
“Bagaimana mengabaikannya?” 
Beliau menajwab: 
“Jikalau urusan diserahkan bukan kepada ahlinya. Maka, tunggulah kiamat.” (HR Ahmad dan al-Bukhari)

Sekali lagi… Ingat, sekali lagi; Dalam kondisi seperti ini, wajib hukumnya mencoblos dalam pemilu. 

  • Kedua, Negara yang system hukumnya tidak Islami atau menafikan Islam. 
Seperti Negara Komunis, Atheis, Demokrasi, atau system-sistem lainnya yang tidak menganut system Islam 100 persen, atau malah menafikan Islam. 

Dalam kondisi seperti ini, hokum asalnya seorang Muslim tidak boleh ikut mencoblos, atau dalam bahasa lainnya wajib Golput karena keikutsertaannya mengandung banyak kejangalan dalam syariat, seperti tunduk kepada orang-orang yang zalim, mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil, tidak ada nilai iman dan sudah sama saja dengan nilai kekufuran. 

Allah SWT melarangnya dalam firman-Nya: 
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam." (Surat al-Nisa: 140)

Kemudian firman-Nya: 
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ ۚ وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۖ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih." (Surat al-Fath: 25)

Antara Maslahah dan Mafsadah


Hukum di atas dalam hokum dasar. Dalam kondisi normal. Ada kaedah yang menjelaskan begini: al-Hukm Yadùru ma’a al-Illah; wujùdan wa ‘adaman. Hukum itu berjalan sesuai dengan sebabnya; ada maupun tiada. 

Dalam konteks ke-Indonesiaan, kondisinya tidaklah seperti di atas. Indonesia bukan murni Negara Islam,dan bukan pula Negara yang menafikan Islam. Dengan berdasarkan Pancasila, konstitusi kita sebenarnya siap menerima hokum apa saja yang bermanfaat bagi Negara, termasuk hokum Islam. Apalagi Indonesia ini adalah salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. 

Makanya, sebagian ulama, terutama ulama kontemporer, membolehkan bahkan mewajibkann umat Islam untuk ikut serta mencoblos dalam pemilu, dan tidak golput. 

Agar bisa menerapkan kemaslahatan bagi Islam dan umat Islam, agar bisa meminimalisir kebatilan dan kejahatan yang ada disana. Sebab, Negara itu bukan saja berkaitan dengan satu orang dua orang, tapi jutaan anak manusia, jutaan umat Islam. 

Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah menjelaskan dalam Kitabnya Majmu al-Fatāwa (20/ 48): 
“Jikalau dua kewajiban saling berbenturan, tidak mungkin dikumpulkan keduanya, maka didahulukan kewajiban yang paling kuat. Jenis yang satu lagi tidak disebut lagi wajib, dan orang yang meninggalkannya, tidak disebut meninggalkan hal yang wajib. Begitu juga halnya jikalau berkumpul dua hal yang diharamkan, tidak mungkin meninggalkan jenis haram paling besarnya kecuali dengan mengerjakan yang paling ringannya, maka mengerjakan yang paling ringan, sebenarnya, dalam hal ini tidak bisa disebut haram. Walaupun perbuatan tersebut dinamakan “meninggalkan wajib” atau yang satu lagi dsebut “melakukan yang haram”. Itu semali tidak berpengaruh. Dalam hal dikenal dengan: “meninggalkan yang wajib karena uzur, dan melakukan yang haram karena maslahat yang kuat atau karena darurat atau menolak sesuatu yang lebih haram.”

Dalam masalah ini, bisa direnungkan kisah Nabi Yusuf Alaihissalam. Bagaimana beliau menjadi Bendahara Negara di Kerajaan Mesir, yang rajanya dan penduduknya adalah orang kafir. Bahkan, beliau sendiri yang meminta jabatan itu. Tujuannya jelas, agar mampu menerapkan kemaslahatan bagi orang banyak, dan sekaligus menjadi lahan dakwah bagi semuanya.

Kisah ini diceritakan dalam al-Quran: 
وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا هَلَكَ قُلْتُمْ لَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ مِنْ بَعْدِهِ رَسُولًا ۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ مُرْتَابٌ
Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: “Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu." (Surat Ghafir: 34)

Dalam ayat lainnya dijelaskan: 
“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, rabb-rabb yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Mahaesa lagi Mahaperkasa. Kamu tidak beribadah kepada yang selain Allah kecuali hanya (beribadah kepada) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu, Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Allah telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kepada selain Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Surat Yusuf: 39-40) []
Hukum Gaji Imam & Muazzin

Hukum Gaji Imam & Muazzin


Biasanya,  Gaji Imam atau Muazzin itu berasal dari dua sumber: 

  • Pertama, Baitul Mal (Pemerintah/ APBN)

Berkata Ibn al-Qasim dalam Hasyiyahnya atas al-Rawdh al-Murabba’: 

وقد أجرى السلف أرزاقهم من بيت المال من المؤذنين والأئمة، والقضاة، والعمال، وغيرهم، ولن يأتي آخر هذه الأمة بأهدى مما كان عليه أولها، وكان عمر-رضي الله عنه- وغيره يعطونهم منه، وجرت العادة –أيضاً- بين المسلمين بجواز أخذ من يؤم ويؤذن، وغيرهم من الأحباس الموقوفة على ذلك من غير اختلاف منهم

"Para Muazzin, Imam, Qadhi, Pegawai, dan lain-lain dari kalangan Salaf, gaji mereka berasal dari Baitul Mal. Generasi akhir umat ini tidak akan lebih baik di bandingkan Generasi awalnya. Umar radhiyallahu anhu selainnya, memberikan mereka gaji dari Baitul Mal. Kebiasaan yang berjalan di antara kaum muslimin, bolehnya mengampil gaji bagi yang mengimami dan selainnya dari barang-barang wakaf tanpa ada perbedaan pandangan di antara mereka." 

Ibn Quddamah al-Maqdisy, sebagaimana terdapat dalam Kitabnya al-Mughni (2/ 70) menyatakan Ijma’nya masalah ini. Sebab ia salah satu Amalan al-Qurb, mencakup juga Azan.


  • Kedua, Selain Baitul Mal (Pemerintah/ APBN)

Para Ulama Berbeda pandangan dalam menyikapinya

Pertama, Tidak Boleh

Ini merupakan Pandangan Ulama Mazhab Hanafi terdahulu; pandangan yang Paling Shahih dalam Mazhab Syafii; Salah satu Pendapat dalam Mazhab Hanbali. Hanya saja, Mazhab Hanafi menambahkan, jikalau sang Imam tidak mensyaratkan, namun inisiatif dari Jamaah untuk mengumpulkan uang untuk memenuhi hajatnya, maka itu baik dan bagus. 

(Lihat Kitab al-Bahr al-Raiq: 1/ 268; Raudhah al-Thalibin: 5/ 188; al-Inshaf: 14/ 378)

Kedua, Boleh

Ini merupakan Pendapat sebagian dalam Mazhab Maliki, salah satu pandangan dalam Mazhab Syafii, salah satu pandangan dalam Mazhab Hanbali. 

(Lihat al-Kharsy: 1/ 236; Rawdhah al-Thalibin: 5/ 188; al-Inshaf: 14/ 378)

Ketiga, Boleh walaupun disyaratkan untuk Digaji Menjadi Imam & Muazzin

Ini merupakan pendapat yang Masyhur dalam Mazhab Maliki. 

(Lihat al-Kharsy: 1/ 236)

Keempat, Boleh Mengambil Jikalau Darurat & Butuh

Misalnya Fakir atau Miskin. Tidak boleh mengambilnya jikalau kaya. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanbali, sebagaimana terdapat dalam al-Inshaf (14/ 379). 

Dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibn Taimiyah, sebagaimana terdapat dalam Majmu’ al-Fatawa: (30/ 207)

Kelima, Makruh

Pendapat ini terdapat dalam Kitab al-Inshaf: (14/ 379)


Pendapat Terpilih


Jikalau melihat dalil, maka pendapat yang palong kuat adalah pendapat yang mengharamkan. Namun jikalau ada kebutuhan atau kedaruratan, misalnya dalam konteks keindonesiaan yang Imamnya tidak digaji pemerintahkan, maka boleh; tidak masalah sama sekali.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibn Taimiyah. Apalagi jikalau sampai pengharaman itu menyebabkan terabaikannya Masjid dan Shalat Berjamaah, maka hukumnya akan dibolehkan sekali.

Dalil hokum Asal (Tidak Boleh) ini adalah sabda Nabi Saw kepada Ustman bin Abi al-Ash: 

 واتخذ مؤذناً لا يأخذ على أذانه أجراً

"Dan ambillah Muazzin yang tidak mengambil upah atas azannya."

 أخرجه أحمد (4/29)، والنسائي (1/351)، والحاكم (1/199)، وقال: على شرط مسلم، وأقره الذهبي، وابن حجر في البلوغ (ص167)، وصححه الألباني في الإرواء (5/316).

Jikalau Muazzin saja tidak diperbolehkan, maka Imam lebih utama untuk tidak dibolehkan. Sebab, tanggungjawabnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Muazzin. 

NB: Jikalau dari Baitul Mal, itu dari uang Negara. Jikalau selain itu, maka dari kantong Jamaah atau  Masjid. []

Hukum Menunda Qadha' Puasa Ramadhan yang Menumpuk

Hukum Menunda Qadha' Puasa Ramadhan yang Menumpuk


Orang yang menunda-nunda kewajiban Qadha’ Ramadhan, maka ia berdosa, wajib baginya bertaubat dan beristighfar, kemudian ia harus men-Qadha hari-hari yang sudah ditinggalkannya. Dan tidak ada baginya kewajiban kafarat. Inilah pendapat Jumhur ulama yang bisa dijadikan pegangan. 

Jikalau ada yang tetap mau bayar Kafarat, kemudian memperbanyak sedekah, maka tidak ada masalah sama sekali. Itu menjadi timbangan kebaikannya. 

Hendaklah ia menentukan jumlah hari yang selama ini dilalaikannya. Bagi wanita yang haidh misalnya, terjadi 5-7 hari. Kemudian dikalikan sejumlah prediksi kuatnya ditinggalkan. 

Antara Qadha’ dengan Puasa lainnya tidak boleh digabung. Sebab ia bersifat wajib
 
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid menjelaskan, “Siapa yang memiliki kewajiban Qadha’, kemudian ia sakit atau tidak mampu melakukannya (tidak bisa diharapkan kesembuhannya), maka ia beralih ke “Memberi Makan Fakir Miskin.”, yaitu satu orang Miskin untuk setiap Puasa yang Ditinggalkan. Jawaban serupa juga disampaikan oleh Syeikh Muhammad Shaleh al-Utsaimin. 

Kewajiban men-qadha puasa Ramadhan bersifat al-Tarakhi (tidak lansung). Dalilnya, Aisyah menunda Qadha Ramadhannya sampai masuk bulan Syaban. 

Hukum Berpuasa sebelum menunaikan Qadha’ Ramadhan, para ulama berbeda pandangan. Sebagiannya membolehkan. Sebab, tidak mungkin Aisyah sepanjang bulan Ramadhan-Syaban, sama sekali tidak puasa sunnah. 

Jikalau sengaja melalaikan Qadha’ sampai masuk Ramadhan selanjutnya, maka ia berdosa. Namun jikalau ada Uzur, kemudian ia meninggal, maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Keluarganya juga tidak wajib mengqadha. []

Pengetahuan Hukum Seputar Jin

Pengetahuan Hukum Seputar Jin


Pengetahuan tentang Jin itu bukanlah al-Taraf al-Fikri atau Tadhyi’ al-Waqt. Ia masalah penting agar seseorang tidak terjerumus ke dalam Khurafat (Mitos)


Apakah Jin Mencuri Harta Manusia? 

Ketika seseorang kehilangan hartanya, kemudian ia tidak mendapati ada orang yang mencurinya, maka ia akan berpikir bahwa pelakunya adalah Jin. 

Fakta Islaminya, Jin tidak bisa bisa mencuri hartanya, selama harta itu tersimpa dalam al-Hirz (Lemari atau Kotak dan sejenisnya). 

Rasulullah Saw bersabda: 

أغلِقوا الأبوابَ وأوْكوا السِّقاءَ وخمِّروا الإناءَ وأطفِئوا المصباحَ فإنَّ الشَّيطانَ لا يفتَحُ غَلَقًا ولا يحُلُّ وِكاءً ولا يكشِفُ إناءً وإنَّ الفُوَيْسقةَ تُضرِمُ على النَّاسِ بيتَهم

"Tutuplah oleh kalian pintu rumah, ikatlah kantong air tempat minuman, tutuplah bejana-bejana, dan matikanlah lampu, karena setan tak dapat membuka pintu terturup, melepas ikatan tempat minum, dan membuka bejana. Dan sesungguhnya tikus dapat merusak pemilik rumah dengan membakar rumahnya." (HR al-Turmudzi)


Apakah Jin juga Mukallaf? 

Jin itu Mukallaf sama dengan manusia, dan Rasul mereka adalah dari kalangan manusia, sebagaimana firman Allah SWT: 

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَٰذَا ۚ قَالُوا شَهِدْنَا عَلَىٰ أَنْفُسِنَا ۖ وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ

Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir." (Surat al-An'am: 130)

Ada sekelompok Jin yang mendengarkan al-Quran dari Nabi Saw, sebagaimana firman-Nya: 

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan." (Surat al-Ahqaf: 29)

Dalam hadits panjang riwayat Muslim dijelaskan: 

وبعثت إلى الأحمر والأسود

"Saya diutus kepada yang merah dan yang hitam." 


Apakah Jin yang Beriman Masuk Surga? 

Para Ulama berbeda pendapat karena berpangkal dari perbedaan mereka tentang Asal Jin. Ulama berpandangan bahwa ia adalah keturunan Jin bukan Iblis, maka ia masuk surga dengan Iman mereka. 

Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa ia merupakan keturunan Iblis, maka ada dua pandangan mereka. 

  1. Mereka masuk surga
  2. Mereka tidak masuk surga, namun tidak juga disiksa di Neraka

Sedangkan bagi Jin yang Ahli maksiat, maka ia akan dimasukkan ke dalam Neraka sama dengan manusia, sebagaimana firman Allah SWT:

يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِنْ نَارٍ وَنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِ

Kepada kamu, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (dari padanya)." (Surat al-Rahman: 35)

Hukum Puasa bagi Para Pekerja Keras

Hukum Puasa bagi Para Pekerja Keras


Menurut Mazhab Hanafi, orang yang terpaksa bekerja di bulan Ramadhan, kemudian berdasarkan:  

  1. Tanda-Tanda (al-Amarah), 
  2. Dugaan Kuat (al-Zhann al-Ghalib), 
  3. Pengalaman (al-Khibrah)
  4. Pemberitahuan (Ikhbar) dokter Muslim yang terpercaya, 

bahwa puasanya akan menyebabkan 

  1. Kematiannya atau
  2. Menyebabkan sakit atau 
  3. Lemah yang membuatnya tidak mampu menafkahi dirinya dan keluarganya, 


Maka, dibolehkan baginya tidak berpuasa berdasarkan pandangan Ibn Abidin yang membolehkan tidak berpuasa bagi pekerjaan yang tidak ada jaminan nafkah bagi dirinya dan keluarganya. 

Para pekerja yang berada dalam kondisi seperti ini, maka ia diperbolehkan tidak berpuasa, namun ia harus men-Qadha’ di hari-hari lainnya yang tidak ada kedharuratan tersebut. 

Jikalau pekerjaan tersebut dijalaninya sepanjang masa, berdasarkan keyakinan kuat di hatinya, tidak ada waktu senggang sama sekali, namun tidak ada kewajiban Qadha baginya dan tidak juga Fidyah. 

Namun, jikalau hanya berdasarkan dugaan besar (al-Zhann al-Ghalib, maka ia hendaklah mengambil hokum al-Syeikh al-Fani; Orang Tua Renta, yang berkewajiban membayar Fidyah untuk setiap hari yang ditinggalkannya sebanyak ½ Sha’ Gandum atau sejenisnya kepada satu orang fakir atau senilai harganya menurut Abu Hanifah. 

Jikalau uzur sudah hilang, ia sudah bekerja normal, maka ia wajib menqadha puasa yang pernah ditinggalkannya.[]

Hukum Menunda Shalat Isya

Hukum Menunda Shalat Isya


Ada dalil yang menunjukkan sunnahnya menunda shalat Isya, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana sabda Nabi Saw yang suatu hari menundanya sampai sepertiga malam seraya berkata: 

إنه لوقتها لولا أن أشق على أمتي

"Inilah waktunya jikalau aku tidak memberatkan umatku." (HR Abu Daud)

Jikalau tidak ada kesulitan, maka menundanya adalah lebih baik. Namun, jangan sampai menundanya melewati tengah malam, berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Amru, dari Nabi Saw bersabda: 

وقت العشاء إلى نصف الليل

"Waktu Isya sampai pertengahan malam." (Hr Muslim)

Sedangkan jikalau menundanya akan menyulitkan, maka terbaiknya adalah menyegerakan, berdasarkan riwayat Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, Nabi Saw bersabda: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم في العشاء إذا رآهم اجتمعوا عجل ، وإذا رآهم أبطئوا أخر

"Nabi Saw dalam shalat Isya jikalau melihat mereka sudah berkumpul, maka beliau menyegerakan. Jikalau beliau mereka melihat lambat, maka beliau mengakhirkan." (Hr Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lainnya: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم يستحب أن يؤخر العشاء

"Nabi Saw suka menuda Isya."(Hr Ahmad)


Kesimpulannya: 

Disunnahkan menundanya jikalau jikalau tidak ada kesulitan. Dan itu tidak boleh melewati tengah malam. []

Utamakan Adab Saat Ikhtilaf

Utamakan Adab Saat Ikhtilaf

(Wawancara/ Hiwar dengan Koran Republika, terbit Edisi Minggu; 2 Mei 2021; Islam Digest)


Menurut Ustaz Denis Arifandi, ikhtilaf pun terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Perbedaan adalah hal yang wajar terjadi dalam kehidupan. Dalam Konteks keislaman, Perbedaan Pendapat Sering kali disebut sebagai ikhtilaf . Menurut Ustaz Denis Arifandi Pakih Sati Lc, ikhtilaf pun terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW, yakni antara sahabat dalam beberapa kasus.

Akan tetapi, mereka tetap mengutamakan adab walaupun berlainan pandangan. Para salafus salih  merupakan contoh yang baik. Perbedaan tidak sampai umat terpecah-belah.
“Para salafus salih dalam berikhtilaf, terutama para sahabat, itu luar biasa perbedaan di antara mereka. Tapi tidak sampai menyebabkan berpecah-belah, ”ujar pengasuh Pondok Pesantren Insan Utama International Islamic Boarding School (IIBS) Yogyakarta itu.

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini mengatakan, kaum Muslimin saat ini seyogianya, kalangan alim tidak selalu memiliki pandangan. Ketika orang-orang berilmu saling berbeda pendapat, umpamanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah , umat dapat melihat tingginya akhlak mereka. Misalnya, tidak pernah ada cerita imam-imam mazhab fikih mencela satu sama lain.
“Mereka kalau misalnya mengikuti seorang imam, atau seorang kiai atau syekh, atau sebuah mazhab, jangan katakan fanatik dalam artian seolah-olah yang benar hanya dirinya saja,” katanya.

Bagaimana memahami ikhtilaf? Lebih lanjut, bagaimana menghindari fanatisme dalam mengikuti suatu pendapat?

Untuk menjawabnya, berikut wawancara wartawan Republika , Muhyiddin , dengan dai yang sedang menempuh studi doktoral Ilmu Syariah pada Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. Bincang-bincang berlangsung secara daring, beberapa waktu lalu.

Apa yang dimaksud dengan ikhtilaf dalam konteks agama?

Menurut Raghib Isfahani, Seorang Ahli Bahasa dan Filsuf Muslim (wafat 1108 M), khilaf  Dan ikhtilaf Beroperasi bahasa ITU merupakan lawannya Ittifaq , 'bersepakat'. Hanya saja, ikhtilaf  ini lebih umum lagi sifatnya berlawanan 'berlawanan'.

Sebab, terkadang ada sesuatu yang berlawanan arah. Misalnya, hitam dan putih itu merupakan sesuatu yang benar-benar berbeda. Sementara, merah dan hijau itu berbeda, tapi tidak berlawanan.

Secara istilah, al- ikhtilaf yang benar dalam kitab Al-Misbah al-Munir adalah seseorang yang berpandangan berbeda dengan orang lainnya. Hal itu juga disebutkan oleh Ali bin Muhammad al-Jurjani dalam kitabnya, At-ta'rifat . Menurutnya, al- ikhtilaf adalah perselisihan pendapat yang terjadi antara dua orang berbeda.

Ikhtilaf baik atau buruk bagi umat Islam?

Ikhtilaf itu adakalanya baik dan ada kalanya buruk. Yang baik itu adalah ikhtilaf tanawwu ' . Yang dimaksud tanawwu '  itu beragam, layaknya kita melihat sebuah taman. Banyaknya warna di taman bunga itu akan membuat lebih indah.

Sama hanya dengan Islam, ketika banyak perbedaan pandangan dalam masalah-masalah yang furu'iyah. Itu adalah sesuatu yang bagus sebenarnya. Sebab, itu memberikan dinamika dan warna dalam kehidupan.

Jadi, ikhtilaf tanawwu '  adalah jika perbedaan itu tidak saling kontradiktif antarsatu dengan yang lainnya. Masing-masing pendapat itu tidak sama karena pendapatnya merupakan ragam dari pendapat. Hampir semua perkara ijtihadi masuk dalam ikhtilaf jenis ini.

Di luar ikhtilaf tanawwu ' menjadi buruk?

Yang tidak boleh itu adalah ikhtilafu al-tadlad , yaitu kontradiktif atau saling berlawanan. Kalau sampai itu terjadi, biasanya akan saling mencaci, mencela, atau bahkan pertikaian fisik. Nah ini yang tidak dibolehkan dalam Islam.

Jadi, kalau seandainya cuma berbeda pikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah , itu memang dibutuhkan dalam Islam. Hal seperti itu masih ditoleransi dalam Islam. Nah, kalau sudah saling berkelahi, itu tidak boleh sama sekali.

Alquran memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada tali agama Allah dan jangan bercerai-berai. Berarti, tidak boleh berikhtilaf?

Allah SWT memang berfirman dalam surah Ali Imran ayat 103 tentang itu. Maknanya, siap dikatakan oleh Ibnu Abbas, berpegang teguhlah kalian (umat Islam) kepada agama Allah. Maka, kita jangan sampai mencabik-cabik atau merusak agama kita.

Kita diwanti-wanti bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Kita diwanti-wanti untuk tidak umat-umat sebelum kita yang hobinya mencabik-cabik agama sendiri, seperti digambarkan dalam surah al-Anbiya ayat 93, artinya, “Tetapi mereka terpecah belah dalam urusan (agama) mereka di antara mereka.”

Jadi, ikhtilaf yang tidak boleh sama sekali adalah yang sampai mencabik-cabik agama kita. Jangan sampai kita shalat berjamaah di masjid, tetapi justru hati kita saling berhubungan satu sama lain. Kita diperintahkan untuk berpegang teguh kepada agama Allah. Jangan sampai bertikai gara-gara suatu masalah yang seharusnya di dalamnya kita berlapang dada.

Benarkah ungkapan bahwa 'perbedaan di tengah umat Nabi SAW adalah rahmat'?

Pertama-tama, itu sebenarnya bukan sebuah hadis. Memang, sebagian mengatakan itu hadis dhaif. Namun, secara makna, jikalau maksudnya adalah perbedaan para mujtahid dalam melahirkan pendapat-pendapat yang fikih dalam masalah ijtihadiyah , itu bisa jadi maknanya benar.

Contohnya, membahas masalah bersentuhan dengan perempuan; apakah membatalkan wudhu atau tidak? Ketika bertawaf, kalau kita berpegang pada mazhab Syafii, maka bersentuhan dengan perempuan itu batal wudhu-nya. Tapi, sungguh akan menyulitkan sekali waktu itu. Sebab, kondisinya berdesak-desakan dan pasti akan bersentuhan dengan yang bukan mahramnya.

Mau tidak mau, akhirnya waktu itu kita akan berubah pada mazhab Hanafi yang menyatakan, (bersentuhan dengan lawan jenis) itu tidak sampai membatalkan wudhu.

Makanya, dikatakan ikhtafu ummati rahmah (perbedaan umatku itu adalah rahmat). Kalau yang dimaksud adalah perbedaan di antara para mujtahid dalam menghasilkan pendapat yang terkait dengan furuiyah , itu bisa jadi rahmat. Namun, kalau perbedaan masalah ushuliyah , itu jelas bukan rahmat. Umpamanya, perbedaan tentang hukum shalat yang wajib, zakat, dan lain-lain.

Bagaimana semestinya Umat menyikapi ikhtilaf di ANTARA alim ulama?

Umat ​​memahami bahwa ketika para ulama berbeda pandangan dalam masalah-masalah ijtihadiyah , itu hal yang biasa. Jangankan para ulama sekarang. Para sahabat dahulu pun, yang masanya paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW, tetap pandangan yang berbeda. Apalagi, para ulama yang muncul setelahnya. Tentunya perbedaan itu akan lebih terjadi.

Kalau misalnya seorang imam, kiai, syekh, atau mazhab, maka jangan mengikuti seorang fanatik. Dalam artian, seolah-olah yang benar-benar hanya diri atau kelompoknya. Ini yang harus dihindari sebenarnya. Sebab, mental seperti itu bisa menjadi pangkal perpecahan di tengah umat.

Seperti apa contoh dari salafus salih ketika mereka berikhtilaf?

Ketika berikhtilaf, para salafus salih , terutama kalangan sahabat Nabi SAW, itu tidak sampai menyebabkan berpecah belah. Khilafnya memang sangat banyak sekali. Kita lihat beberapa di antaranya yang paling terkenal. Misalnya, ketika Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk tidak shalat di Bani Quraizhah.

Beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Nah, di tengah perjalanan, ternyata waktu Ashar sudah masuk. Sebagian sahabat berpandangan, tidak boleh shalat kecuali di setibanya di Bani Quraizhah.

Kemudian, yang lainnya yang berpandangan, bukan itu yang dimaksud Rasulullah SAW. Yang melayani Nabi SAW adalah mereka segera berangkat ke Bani Quraizhah agar tidak telat shalat Ashar.

Ketika perkara ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau tidak mempersoalkan salah satu dari dua pendapat itu. Jadi, itu suatu contoh pandangan pandangan di kalangan sahabat, bahkan ketika Nabi SAW.

Contoh lainnya, masalah musafir ketika junub dan tidak menemukan air. Di antara pendapat yang masyhur dari Umar bin Khattab, musafir itu tidak boleh bertayamum sampai mendapatkan udara. Para sahabat lainnya ada yang tidak menerima pendapat itu. Merujuk pada surah an-Nisa ayat 43.

Bagaimana adab bila berbeda pandangan dengan sesama Muslim?

Ketika kita berbeda pandangan dengan sesama Muslim, sebanarnya ada dua sikap yang perlu ktia lakukan. Yang pertama, sebagai pengikut suatu mazhab, misalnya, kita tidak boleh menyerang orang-orang yang berbeda pandangan. Sebab, para imam kita saja tidak pernah saling menyerang antara mereka. Antarsesama alim ulama tidak pernah saling mencaci, saling merendahkan.

Contoh saja, kita tidak pernah mendengar Imam Syafii menjelek-jelekkan Imam Ahmad. Jadi, memang seharusnya kita tidak boleh saling menjelekkan, termasuk dalam ikhtilaf masalah ijtihadiyah. Kita harus melihat bahwa pemahaman orang itu bukan wahyu. Janganlah gara-gara berbeda pandangan, kemudian kita saling mencela dan mencaci.

Kedua, kita harus memiliki sikap moderat. Ketiga, bersabar dan berlemah-lembut, serta pandai dalam mengatur perbedaan dengan baik. Adapun yang keempat, tidak sampai fanatik. Sebab, fanatisme ini adalah pangkal perkelahian orang-orang yang berbeda pandangan dalam masalah ijtihadiyah.

Setiap Ramadhan, fenomena ikhtilaf mungkin masih terasa, semisal perbedaan jumlah rakaat tarawih. Menurut Anda?

Ini sebenarnya masalah klasik. Sampai kapanpun, mungkin tidak akan menemukan titik temu. Karena itu, harus berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi di tengah umat.

Kalau ada yang melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, silakan. Melaksanakan 11 rakaat, juga silakan. Seperti dikatakan Ibnu Taimiyah, “Jika seseorang melakukan shalat tarawih sebagaimana mazhab Abu Hanifah, Syafii, dan Ahmad, yaitu 20 rakaat, atau sebagaimana mazhab Malik yaitu 36 rakaat, atau 13 rakaat, atau 11 rakaat, maka itu yang terbaik. Ini sebagaimana Imam Ahmad berkata, ‘Karena tidak ada apa yang dinyatakan dengan jumlah, maka lebih atau kurangnya jumlah rakaat tergantung pada berapa panjang atau pendek qiyam-nya'.”


Menerjemahkan Itu Menjembatani


Proses transmisi ilmu terjadi melalui banyak cara. Salah satunya adalah penerjemahan karya-karya yang berkualitas ke dalam bahasa sasaran. Dalam dakwah Islam, ahli terjemah pun memiliki peran yang tidak sedikit. Hal itu disampaikan Ustaz Denis Arifandi Pakih Sati Lc.

Menurutnya, kaum Muslimin dapat memetik hikmah dari kemajuan yang dicapai peradaban Islam masa silam. Pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad menjadi kota kosmopolitan tempat pengkajian ilmu-ilmu dari pelbagai penjuru dunia. Sultan Abbasiyah kala itu mendukung transmisi keilmuan, utamanya dengan menyokong para penerjemah.

Ustaz Denis Arifandi terinspirasi dari peran kalangan pengalih bahasa pada era keemasan Islam. Sejarah membuktikan, buah kerja mereka memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban. Merefleksikan hal itu, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini pun menekuni dunia penerjemahan.

Hingga kini, pengasuh Pondok Pesantren Insan Utama International Islamic Boarding School (IIBS) Yogyakarta itu telah mengalihbahasakan kitab-kitab klasik karangan alim ulama salaf. Ia mengaku termotivasi untuk turut menjembatani warisan pengetahuan salafus salih agar sampai kepada generasi kini, khususnya Muslimin Indonesia yang belum bisa berbahasa Arab.

“Menerjemah kitab itu berarti menjembatani ilmu-ilmu dari masa mereka. Harapannya, ilmu itu sampai kepada orang-orang (pembaca) yang mungkin tidak memahami bahasa aslinya, bahasa Arab,” ujar Ustaz Denis saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Menerjemah Kitab itu Berarti Menjembatani Ilmu-Ilmu dari Masa Mereka


Sejak kecil, mubaligh muda ini sudah mengenal bahasa Arab. Saat menempuh pendidikan di MAKN Koto Baru Padang Panjang, Sumatra Barat, dia mulai serius mempelajari penguasaan atas bahasa Arab. Pendidikannya kemudian berlanjut ke Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam and Arab (LIPIA) Jakarta. Kemampuannya dalam menerjemahkan teks-teks berbahasa Arab pun kian terasah.

Begitu lulus dari LIPIA, Ustaz Denis meneruskan studi magister Hukum Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini, ia sedang menempuh kajian doktoral Ilmu Syariah di kampus yang sama. Sampai sekarang, sudah cukup banyak naskah yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Di antaranya adalah Kitab La Tahzan wabtasim lil Hayah karya Mahmud al-Mishry.
“Buku itu bagi saya, memberikan motivasi tersendiri. Salah satu kitab yang pernah saya terjemahkan,” tuturnya.

Buku-buku lain yang pernah dialihbahasakannya ialah Syarah Matan Abi Syuja' karya Musthafa Dibb al-Bugha dan Kitab Tarikh al-Tasyri' al-Islami karya Khudary Bek. Ia pun menulis buku sendiri, semisal Jejak Hidup dan Keteladanan Imam Empat Mazhab.

Begitu banyak alim yang menginspirasi. Untuk menyebut satu nama, Syekh Yusuf al-Qaradawi. “Kalau saya sendiri, sangat menyukai karya-karya beliau. Sosoknya juga sangat saya kagumi, begitu pula pandangan-pandangan fikihnya,” kata Ustaz Denis.

Muhyiddin: Reporter 

SourceUstaz Denis Arifandi PS, Utamakan Adab Saat Ikhtilaf