Ibadah dan Usaha Harus Seimbang
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَة الْخَفِيَّةِ. وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطُ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
”Keinginanmu berkonsentrasi (Ibadah) kepada Allah Swt, padahal Dia telah mengaturmu tetap berusaha, merupakan bagian dari syahwat tersembunyi. Keinginanmu berusaha, padahal Dia mengaturmu untuk konsentrasi beribadah merupakan bentuk penurunan semangat yang tinggi.”
(Ibn Athaillah al-Sakandary dalam al-Hikam)
***
Keinginanmu untuk mengkonsentrasikan diri beribadah menyembah Allah Swt dan melepaskan dari dari segala usaha, pekerjaan dan tindakan yang sebenarnya tidak terlarang secara Syara’, bahkan tidak pula Makruh merupakan bagian di syahwat tersembunyi.
Allah Swt yang Maha Bijaksana telah mengatur segala urusan hamba-Nya, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Tidak ada seorang manusiapun di dunia, kecuali ia berada di bawah pengaturan-Nya; walaupuan ia kafir sekalipun.
Walaupun Anda mengkonsentrasikan diri untuk beribadah kepada Allah Swt, akan tetapi Anda tetap harus berusaha dan bekerja demi menghidupi diri sendiri dan keluarga. Dia sudah menentukan, bahwa rezki itu tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi ia harus dicari dan diusahakan. Jikalau kerjanya hanya di Mesjid saja, maka tidak ada rezki yang menghampirinya.
Sebagaimana perkata Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ’Anhu:
”Sesungguhnya langit tidak menurunkan hujan emas dan perak.”
Keinginan seorang hamba menyelisihi ketentuan-Nya dalam syariat-Nya adalah bentuk syahwat tersembunyi. Sebagai seorang hamba, tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menjalankan apa yang telah ditetapkan-Nya. Kita tidak memiliki kemampuan apapun. Semua kekuatan dan kekuasaan berada di tangan-Nya. Janganlah sampai kesombongan merasuk ke dalam diri, sehingga merasa paling hebat dan tidak membutuhkan siapapun, bahkan sang Pencipta sekalipun. Ini adalah sebuah tindakan kriminal dalam Aqidah yang harus dibuang jauh-jauh.
Dalam setiap ketentuan-Nya pasti ada hikmah dan faedah yang sebahagian besarnya tidak mampu diketahui oleh akal manusia.
Sebaliknya, keinginan kita untuk berusaha dan melarutkan diri di dalamnya, sehingga lalai beribadah menyembah Allah Swt merupakan bentuk keterjatuhan dari semangat yang tinggi. Di zaman sekarang dikenal dengan istilah Workholic. Bekerja terus-menerus tanpa mengenal lelah dan istirahat, bahkan jikalau tidak bekerja, maka dia akan sakit.
Tindakan seperti ini juga tidak diizinkan oleh Syariat. Bagaimana mungkin Anda melarutkan diri dalam pekerjaan, padahal sang Pencipta telah mengatur Anda untuk melarutkan diri dalam ibadah kepada-Nya (apabila tiba waktunya), agar Anda bisa bersama-Nya, menyaksikan-Nya dan merasakan kenikmatan di hadapan-Nya.
Ketika Anda lalai menyembah Allah Swt dan sibuk dengan usaha-usaha yang bersifat keduniaan, maka Anda telah terperosok ke dalam jurang kehinaan. Anda telah kehilangan semangat yang seharusnya dimiliki seorang muslim, yaitu semangat beribadah kepada-Nya dan mengharapkan keridhoan-Nya.
Orang yang memiliki semangat tinggi selalu mengharapkan apa yang diharapkan oleh Penciptanya. Jikalau Allah Swt menginginkannya untuk beribadah, maka ia akan beribadah. Jikalau Dia menginginkannya untuk bekerja dan berusaha, maka ia akan mengerjakannya.
Kita adalah hamba, dan seorang hamba harus rela dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Tuannya. Jikalau Tuannya menetapkan beribadah, maka dia harus mengerjakannya.
Jikalau Tuannya menetapkan usaha, maka diapun harus mengerjakannya sepenuh hati. []
Jangan Membanggakan Amalan
(مِنْ عَلَامَةِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ)
”Di antara tanda bergantung dengan amal shaleh adalah kurangnya harapan ketika melakukan kemaksiatan”
(Ibn Athaillah al-Sakandary dalam al-Hikam)
***
Kadang-kadang, ketika seorang muslim melakukan berbagai amal shaleh, dia menyangka bahwa itu cukup untuk menyelamatkannya dari api neraka dan memasukkannya ke dalam surga Allah Swt. Ia bergantung dengan amalan-amalannya itu.
Ketika ia melakukan suatu kemaksiatan, maka ia hanya cuek-bebek saja. Dalam fikirannya, semua itu akan tergantikan oleh amalan-amalan shaleh yang selama ini dllakukannya. Ia menggantungkan harapannya dengan amalan-amalan itu dan mengurangi rasa harapnya kepada Allah Swt.
Sebenarnya, ini adalah sebuah kesalahan besar. Seorang muslim tidak akan pernah memasuki Surga-Nya dengan amalan-amalannya saja, akan tetapi dengan rahmat-Nya. Selain itu, tidakan seperti ini juga merupakan sebuah bentuk kesyirikan, karena menggantungkan harapan dengan selain-Nya. Padahal dalam setiap shalat, kita melantukan: Kepada-Mu kami menyembah, dan kepada-Mu lah kami meminta tolong.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa seorang Ahli Ibadah ditanya ketika berada di dekat Mizan, "Apakah engkau ingin masuk surga dengan amalanmu atau rahmat-Ku?" Karena laki-laki ini merasa yakin dengan amalan-amalan yang selama ini dilakukannya, maka dia menjawab, "Dengan amalan-amalanku." Taktala ditimbang, ternyata amalan-amalannya itu tidak mampu memasukkannya ke dalam surga, sehingga ia dilemparkan ke dalam Neraka.
Dalam riwayat lain dijelaskan, bahwa seorang pembunuh 99 jiwa dimasukkan oleh Allah Swt ke dalam surga-Nya, padahal ia belum melakukan amal shaleh sedikitpun. Begitu juga halnya dengan seorang pelacur yang berhak memasuki surga-Nya, itu hanya karena menolong seekor anjing yang kehausan. Semua itu semata-mata karena rahmat Allah Swt.
Seorang mukmin sejati yang mengenal Tuhannya, selalu melihat kepada Tuhannya, bukan amalan-amalannya. []