Menunda Amal

Menunda Amal


Hikmah Kesembilan Belas

إِحَالَتُكَ الْأَعْمَالَ عَلَى وُجُوْدِ الْفَرَاغِ مِنْ رُعُوْنَاتِ النَّفْسِ 

“Menunda amalan untuk menunggu waktu luang adalah bentuk kebodohan jiwa.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Kebiasaan Anda menunda ibadah dan amal kebajikan yang dicintai oleh Allah Swt ketika waktunya tiba untuk menunggu waktu luang adalah bentuk kebodohan jiwa. Fenomena ini banyak ditemui dalam masyarakat muslim. Ketika, misalnya, azan berkumandang; sedangkan Anda sedang sibuk menggarap pekerjaan di kantor, maka Anda sengaja menunda shalat demi menyelesaikannya. Atau ketika harta sudah mencapai Nishabnya dan Haulnya, kemudian Anda sengaja menundanya, sampai ada waktu lowong untuk memberikannya kepada Badan Amil Zakat. Atau ketika keuangan sudah mencukupi dan kemampuan sudah terpenuhi, kemudian Anda menunda ibadah haji demi pekerjaan yang tidak ada habisnya. 

Ini adalah sebuah bentuk kebodohan yang nyata. Siapa tahu, Anda akan meninggal sebelum Anda sempat mengerjakannya. Ajal itu di tangan Allah Swt. Tidak ada yang tahu kapan waktunya. Jikalau ia sudah menghampiri, maka tidak ada yang bisa menghindarinya. Ia mampu menembus benteng yang kuat, dan mampu menebus penjagaan yang ketat. 

Oleh karena itu, Anda harus menjalankan ibadah tepat pada waktunya. Janganlah menunda-nunda. Waktu itu adalah barang berharga, bahkan ia adalah hidup. Ketika Anda melalaikannya, berarti Anda berada di tepi jurang kematian. Ia adalah pedang, jikalau Anda tidak menggunakannya untuk memotong, maka ia yang akan memotong Anda. 

Renungilah!![]

Kebodohan yang Nyata

Kebodohan yang Nyata


Hikmah Kedelapan Belas

مَا تَرَكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْئًا مَنْ أَرَادَ أَنْ يُحْدِثَ فِي الْوَقْتِ غَيْرَ مَا أَظْهَرَهُ اللهُ فِيْهِ

“Merupakan suatu bentuk kebodohon jikalau seseorang menginginkan sesuatu terjadi pada waktu yang tidak diinginkan oleh Allah Swt.” 


(Ibn Athailllah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Merupakan bentuk kebodohan yang nyata, jikalau Anda menginginkan sesuatu terjadi bukan pada waktu yang diinginkan oleh Allah Swt. Anda hanyalah hamba-Nya yang hina dan fakir, serta tidak memiliki hak intervensi dalam setiap ketentuan-Nya. Jikalau Dia menginginkan sesuatu belum terjadi pada waktu yang Anda inginkan, maka ketahuilah bahwa di balik itu ada kebaikan yang belum bisa Anda cerna dengan kemampuan akal Anda yang terbatas. 

Dia tidak mungkin menginginkan keburukan bagi hamba-Nya. Segala ketentuan-Nya dan takdir-Nya adalah kebaikan dan mashlahat. Walaupuan Anda melihatnya keburukan, seperti bencana, banjir, longsor dan sejenisnya, maka ada kebaikan besar di baliknya yang tidak bisa dibandingkan dengan keburukan yang menimpa. 

Begitu juga halnya ketika Anda berdoa. Kadang-kadang Anda tergesa-gesa mengharapkan pengabulannya; padahal di mata-Nya lebih baik di undur, atau digantikan dengan yang lebih baik. Oleh karena itu, tunduklah dengan ketentuan-Nya dan keputusan-Nya, karena Dia tidak akan pernah mencelakakan hamba-Nya dan membebani mereka di luar kemampuannya. []

Bagaimana Allah Swt Bisa Terhijab?!

Bagaimana Allah Swt Bisa Terhijab?!


Hikmah Ketujuh Belas

Bagaimana Allah Swt Bisa Terhijab?!

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الَّذِي أَظْهَرَ كُلَّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءُ وَهُوَ الَّذِي ظَهَرَ بِكُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الَّذِي ظَهَرَ فِي كُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ ظَهَرَ لِكُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ قَبْلَ وُجُوْدِ كُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ أََظْهَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الْوَاحِدُ الَّذِي لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَلَوْلَاهُ مَاكَانَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ. يَا عَجَبًا, كَيْفَ يَظْهَرُ الْوُجُوْدُ فِي الْعَدَمِ. أَمْ كَيْفَ يَثْبُتُ الحْاَدِثُ مَعَ مَنْ لَهُ وَصْفُ الْقِدَمِ

“Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Allah Swt terhijab oleh sesuatu; padahal Dia lah yang menampakkan segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia tampak di segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia tampak dalam segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia tampak untuk segala sesuatu. Bagimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia telah tampak sebelum segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh segala sesuatu; padahal Dia lebih tampak dari segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia adalah Zat yang Maha Esa dan tidak sesuatupun yang bersama-Nya. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal jikalau bukan karena-Nya, maka tidak akan ada segala sesuatu. Sungguh menakjubkan, bagaimana wujud itu bisa ada di dalam ketiadaan. Atau bagaimana sesuatu yang baru bisa menetap bersama sesuatu yang memiliki sifat  Maha Terdahulu.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Bagaimana akal sehat bisa membayangkan, bahwa Allah Swt yang menciptakan segala sesuatu, bisa dihalangi oleh makhluk yang diciptakan-Nya. Ini adalah sebuah kemustahilan yang tidak mungkin diyakini dan dipercayai, kecuali oleh orang-orang yang ada masalah di otaknya. Sedangkan orang-orang yang berakal sehat, maka mereka tidak akan pernah mempercayainya. 

Bagaimana akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh segala sesuatu yang justru menampakkan kekuasaan-Nya. Dia ada di segala sesuatu, di dalamnya dan untuknya, yaitu sifat-sifatNya yang menunjukkan jati diri-Nya. Jikalau Anda melihat ibu yang mengasihi anak-anaknya dan sangat menyayanginya, maka ketahuilah bahwa kasih sayang-Nya melebihi semua itu. Jikalau Anda melihat seorang yang dermawan dan mengeluarkan bagian hartanya tanpa berfikir panjang, maka ketahuilah bahwa Dia lebih dermawan dari itu. 

Bagaimana akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu; padahal Dia adalah Zat yang pertama kali ada, dan tidak ada sesuatu sebelum-Nya. Dia adalah yang pertama, dan Dia adalah yang terakhir. Semua kekuasaan dan kehendak berada di tangan-Nya. Jikalau Dia menginginkan sesuatu, maka Dia cukup mengatakan: Terjadilah, maka ia akan terjadi. 

Bagaimana akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu; padahal Dia adalah Zat yang Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Coba Anda sebutkan satu persatu makhluk yang ada di semesta ini, maka tidak ada satupun yang mampu melampaui kekuasaan-Nya. Bagaimana mungkin seorang makhluk mampu melampui kekuasaan Khalik-Nya. Tidak ada akal sehat yang mampu menerima pernyataan ini. 

Bagaimana mungkin akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu padahal Dia adalah Zat yang Maha Esa. Dia adalah Tunggal, dan tidak ada seorangpun yang bersama-Nya. Dia tidak memiliki anak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada seorangpun yang sepadan dengan-Nya. Ini sangat berbeda sekali dengan keyakinan orang-orang Nashrany yang mengatakan, bahwa Tuhan itu tiga dalam satu: Tuhan Ayah, Tuhan Ibu dan Tuhan Anak. Ini adalah pemikiran kacau yang sulit, bahkan tidak mungkin diterima logika. 

Bagaimana mungkin akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu; padahal Dia lebih dekat kepada hamba-Nya dan makhluk-Nya dari segala sesuatu. Dia selalu mengawasi di setiap waktu. Dia tahu apa yang dikerjakan makhluk-Nya. Dia bisa melihat apa yang dilakukan semut hitam di kegelapan malam, dan debu kecil yang beterbangan di hembus angin. Intinya, Dia bisa melihat apapun yang terjadi di alam semesta ini, sehingga Dia tidak mungkin terhijab oleh sesuatu yang berada di bahwa kuasa-Nya. 

Bagaimana mungkin akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu; pahadal jikalau bukan karena diri-Nya, maka sesuatu tidak ada. Bagaimana Dia akan terhijab oleh makhluk; padahal makhluk itu adalah ciptaan-Nya. Bagaimana mungkin ia akan terhijab oleh setan; padahal setan itu adalah makhluk-Nya dan berada di bawah kekuasaan-Nya. Jikalau Dia mengatakan: Mati, maka semuanya akan mati tiada bernyawa lagi. 

Sungguh menakjubkan, bagaimana mungkin sesuatu yang awalnya tidak ada dan kemudian diciptakan, ia bisa menempati posisi Zat yang Maha berdiri sendiri dan Maha Awwal. Dan bagaimana mungkin sesuatu yang baru bisa disandingkan dengan sesuatu yang bersifat Qidam. Ini adalah sebuah kemustahilan yang nyata. 

Ingatlah, bahwa wujud yang sebenarnya adalah wujud Allah Swt. Sedangkan Anda dan seluruh makhluk-Nya adalah sesuatu yang diciptakan dan berada di bawah genggaman-Nya. Wujud Anda sama dengan ketiadaan. Anda tidak memiliki kuasa apapun. Jikalaupun Anda seorang raja atau penguasa, maka kekuasaan Anda hanyalah pinjaman belaka, dan berhak diambil oleh pemiliknya suatu hari nanti; sebagaimana halnya nyawa yang berada di dalam diri Anda. []

Hijab Alam Semesta

Hijab Alam Semesta


Hikmah Keenam Belas

Hijab Alam Semesta

مِمَّا يَدُلُّكَ عَلَى وُجُوْدِ قَهْرِهِ سُبْحَانَهُ أَنْ حَجَبَكَ عَنْهُ بِمَا لَيْسَ بِمَوْجُوْدٍ مَعَهُ

“Di antara tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah Swt  kepadamu adalah ketika Dia menghijabmu dari diri-Nya dengan sesuatu yang tidak ada bersama-Nya.”

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Alam Semesta adalah sesuatu yang tidak berada bersama Allah Swt. Dan bayangkanlah, bagaimana Dia menghinjabmu dari diri-Nya dengan sesuatu yang tidak ada bersamanya. Itu adalah salah satu tanda kekuasaan-Nya dan membuktikan ke-Maha Perkasaan-Nya. 

Di bagian sebelumnya telah dijelaskan, bahwa alam ini mengandung pantulan Ilahi. Barangsiapa yang melihatnya, kemudian tidak melihat Allah Swt di dalamnya, maka mata hatinya buta dan cahaya jiwanya padam. Cukuplah Anda perhatikan gunung-gunung yang menjulang tinggi, angin yang berhembus kencang, pergantian siang dan malam, debur ombak pantai dan sebagainya, semua itu adalah gambaran kekuasaan-Nya. 

Barangsiapa yang tidak mampu memikirkannya, berarti ia terhijab dari diri-Nya. []

Cahaya Allah

Cahaya Allah


Hikmah Kelima Belas

Cahaya Allah

الْكَوْنُ كُلُّهُ ظُلْمَةٌ وَإِنَّمَا أَنَارَهُ ظُهُوْرُ الْحَقِّ فِيْهِ. فَمَنْ رَأَى الْكَوْنَ وَلَمْ يَشْهَدْهُ فِيْهِ أَوْ عِنْدَهُ أَوْ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ فَقَدْ أَعْوَزَهُ وُجُوْدُ الْأَنْوَارِ وَحُجِبَتْ عَنْهُ شُمُوْسُ الْمَعَارِفِ بِسُحُبِ الْآثَارِ

“Seluruh alam semesta adalah kegelapan, dan yang menyinarinya adalah keberadaan Allah Swt di dalamnya. Barangsiapa yang melihat alam, kemudian tidak melihat-Nya di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelumnya atau sesudahnya, berarti ia telah disilaukan oleh sinar dan terhijab dari matahari Marifat oleh awan-awan alam.” 

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Seorang hamba yang hatinya bergantung dengan alam semesta, yaitu selain Allah Swt, baik harta, jabatan, keluarga, istri dan sebagainya, maka ia akan terhijab dari cahaya-Nya. Hatinya akan gelap dan tidak mampu melihat hakikat yang berada di balik suatu rahasia. Jikalau terus dibiarkan dan tidak dibersihkan, maka cahaya hatinya lama-kelamaan akan padam, sehingga ia tidak bisa lagi merasakan efek dosa yang menimpanya. 

Dan hanya satu Zat yang bisa meneranginya, yaitu keberadaan Allah Swt. Akan tetapi ini bukanlah bermakna Wihdatul Wujud/ Hulul, yaitu menyatunya seorang hamba dengan Allah Swt. Ini adalah faham melenceng yang sama sekali tidak dilegalisir dalam Aqidah Ahli As-Sunnah Wal Jama’ah. Maksudnya, ketika hati itu sudah dihiasi dengan sifat-sifatNya yang layak dimiliki, seperti penyayang, pengasih, suka membantu dan sebagainya, maka ia akan mendapatkan cahaya-Nya. Ia akan mampu melihat kebenaran. Hati kecilnya selalu akan menujukkan kebenaran. 

Dan jikalau seorang hamba melihat alam semesta, kemudian tidak melihat-Nya, maka itu adalah tanda kebutaan hatinya dan tertutupnya pandangan batinnya. Bukanlah Dia berfirman dalam Al-Quran Al-Karim: 

“Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi.” [Az-Zukhruf: 84]

Begitu juga halnya jikalau ia tidak bisa melihat-Nya di sisinya, padahal Dia lebih dekat dari urat lehernya. Sebagaimana firman-Nya: 

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [Qaaf: 16]

Atau ia juga tidak bisa memahami, bahwa Dia adalah Zat yang Maha Awwal dan Maha Akhir. Tidak ada seorangpun atau apapun sebelum-Nya, dan tidak ada seorangpun atau apapun sesudah-Nya. Ingatlah firman-Nya dalam Al-Quran Al-Karim: 

“Dialah yang Awal dan yang Akhir.” [Al-Hadid: 3]

Melihat-Nya di alam semesta ini bukan berarti Anda melihat-Nya dengan mata telanjang. Maksudnya, Anda mampu melihat kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya. Ketika Anda melihat pemandangan yang indah, maka Anda takjub dan semakin mengetahui ke-Maha Besaran-Nya. Jikalau Anda melihat hujan lebat yang diiringi angin topan, maka Anda kagum dengan ke-Maha Dahsyatan-Nya. 

Sedangkan orang yang tertutup cahaya hatinya, maka ia tidak akan mampu memahami semua ini. Jikalau ia melihat pemandangan yang indah, maka ia hanya bisa menikmatinya saja tanpa merenungkan siapa Penciptanya. Jikalau ia mencicipi makanan yang enak, maka ia hanya bisa merasakan saja tanpa berusaha memikirkan siapa yang telah memberikan kenikmatan itu kepadanya. 

Di alam semesta ini terbentang ayat-ayat Allah Swt. Oleh karena itu, para Ulama membagi ayat-Nya menjadi dua bagian: Ayat Quraniyyah dan Ayat Kauniyyah. Ayat Quraniyyah adalah ayat-ayat yang terdapat dalam Mushaf. Sedangkan ayat-ayat Kauniyah adalah ayat-ayat yang terdapat di alam semesta ini. Dan itu tidak akan mampu dilihat dan diketahui oleh orang-orang yang hatinya terhijab, []