Bagaimana Allah Swt Menutup Cahaya Bathin

Bagaimana Allah Swt Menutup Cahaya Bathin


Hikmah Keseratus Lima Puluh Tujuh 

Bagaimana Allah Swt Menutup Cahaya Bathin

سَتَرَ أَنْوَارَ السَّرَائِرِ بِكَثَائِفِ الظَّوَاهِرِ إِجْلَالًا لَهَا أَنْ تُبْتَذَلَ بِوُجُوْدِ الْإِظْهَارِ وَأَنْ يُنَادَى عَلَىيْهَا بِلِسَانِ الْاِشْتِهَارِ

“Allah Swt menutup cahaya relung-relung jiwa dengan tebalnya perbuatan-perbuatan zhahir untuk memuliakannya, agar tidak murahan karena terlihat nyata dan tidak dipanggil dengan lisan ketenaran.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari 

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Allah Swt sengaja menutup cahaya yang ada di relung-relung jiwa dengan perbuatan-perbuatan zhahir sebagai bentuk kehormatan baginya. Apakah Anda tidak menyaksikan, bahwa setiap yang tertutup jauh lebih berharga dan lebih dihormati dari yang terbuka. Biasanya, setiap sesuatu yang mudah dilihat dan disaksikan, maka nilainya berkurang dalam pandangan orang lain. 

Misalnya, ketika Anda menyaksikan perempuan yang memakai hijab atau menutup auratnya, bukankah Anda lebih menghormatinya dan tidak berani menggangunya. Dan berbanding terbalik dengan perempuan yang selalu mengumbar auratnya. Anda sama sekali tidak respek dan tertarik dengan gayanya, bahkan menjadi bahan cemoohan Anda. Itulah contoh kecil yang bisa kita dapatkan di tengah-tengah masyarakat. 

Dan begitu halnya dengan cahaya hati. Ia sengaja ditutupi oleh Allah Swt dengan perbuatan-perbuatan zhahir. 

Intinya, jikalau Anda ingin membuka dan memperlihatkan cahaya itu, maka perbaikilah perbuatan Anda. Janganlah melakukan hal-hal yang dilarang-Nya dan kerjakan selalu perintah-Nya. Selama Anda masih melanggar aturan-Nya, maka cahaya itu akan selalu tertutup.

Jikalau Hati Berhenti Pada Cahaya

Jikalau Hati Berhenti Pada Cahaya


Hikmah Keseratus Lima Puluh Enam

Jikalau Hati Berhenti Pada Cahaya

رُبَمَا وَقَفَتِ الْقُلُوْبُ مَعَ الْأَنْوَارِ كَمَا حُجِبَتِ النُّفُوْسُ بِكَثَائِفِ الْأَغْيَارِ

“Bisa jadi hati berhenti bersama cahaya-cahaya; sebagaimana jiwa terhijab oleh gelapnya bayang-bayang ciptaan.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari 

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Taktala hati melihat cahaya yang dipancarkan oleh Allah Swt, maka bisa jadi ia berhenti di hadapannya. Ini adalah sebuah tanda, bahwa hati Anda masih lebih dan belum mencapai kesempurnaannya. 

Teruslah berjalan dan melangkahkan hati. Jangan hanya berhenti di hadapan cahaya. Percarian Anda yang sebenarnya adalah apa yang ada di balik cahaya itu, yaitu Allah Swt. Cahaya yang Anda lihat itu hanyalah tanda dari-Nya, bahwa perjalanan Anda hampir mencapai puncaknya. 

Jikalau Anda Cuma berhenti sampai disitu, maka cahaya itu justru akan menjadi hijab Anda dan menghalangi tujuan Anda. Sadarlah segera. Pemisalan yang sedang Anda alami itu adalah seperti jiwa yang ditutupi oleh gelapnya bayang-bayang makhluk. 

Hanya saja bedanya, yang satu hijabnya adalah cahaya, sedangkan yang satu lagi hijabnya adalah kegelapan. Perhatikanlah itu baik-baik dan jangan sampai tertipu. 

Dua Jenis Cahaya

Dua Jenis Cahaya


Hikmah Keseratus Lima Puluh Lima

Dua Jenis Cahaya

نُوْرٌ يَكْشِفُ لَكَ بِهِ عَنْ آثَارِهِ, وَنُوْرٌ يَكْشِفُ لَكَ عَنْ أَوْصَافِهِ

“Ada cahaya yang menyingkap makhluk Allah Swt, dan ada cahaya yang menyingkap sifat-sifatNya.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Cahaya Allah Swt yang diberikan-Nya kepada Anda terbagi dua: 

Pertama, cahaya yang akan menyingkapkan Anda mengenai makhluk-Nya. 

Jikalau Anda telah mendapatkan cahaya ini, maka Anda akan mampu mengenal hakikat segala sesuatu yang ada di dunia ini, kemudian Anda juga akan mampu menjadikannya sebagai sarana menuju hadirat-Nya. 

Berapa banyak manusia yang terlena oleh kehidupan dunia ini. Ketika ia diberikan harta, ia malah menghabiskannya dalam kemaksiatan, bukan dimamfaatkannnya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, seperti bersedekah, berzakat dan sebagainya. Jikalau ia diberikan anak, maka ia justru menghabiskan waktu bersenang-senang dengannya, sehingga menyebabkannya lalai menunaikan kewajibannya terhadap Khaliknya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang bisa dijadikan teladan dalam hal ini. 

Kedua, cahaya yang akan menyingkapkan Anda mengenai sifat-sifatNya. 

Dengan cahaya ini, Anda akan mampu mencapai Ma’rifat-Nya. Keimanan yang Anda miliki akan bersambung cahaya sifat-sifatNya. Jikalau Anda telah mendapatkan cahaya jenis kedua ini, maka Anda akan mampu menyingkap rahasia yang ada di balik ketetapan-Nya. Jikalau orang masih gundah-gelana menghadapi takdir buruk-Nya, maka Anda justru bisa menenangkannya dan menyingkap hikmah di baliknya. Cahaya kedua adalah lanjutan cahaya pertama. 

Jikalau Anda baru mendapatkan cahaya pertama, maka langkah yang Anda tuju belum sempurna. Teruslah melangkah dan rajinlah beribadah, mudah-mudahan Anda akan mampu mendapatkan cahaya kedua yang merupakan dambaan setiap salik. 

Sumber Cahaya Hati

Sumber Cahaya Hati


Hikmah Keseratus Lima Puluh Empat 

Sumber Cahaya Hati

نُوْرٌ مُسْتَوْدَعٌ فِي الْقُلُوْبِ, مَدَدُهُ مِنَ النُّوْرِ الْوَارِدِ مِنْ خَزَائِنِ الْغُيُوْبِ

“Cahaya yang tersimpan di dalam hati bersumber dari cahaya yang datang dari gudang keghaiban.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Di bagian sebelumnya telah dijelaskan, bahwa cahaya itu terdapat di dalam hati. Pertanyaannya sekarang, apakah Anda mengetahui darimana cahaya itu berasal?!

Yah, ia berasal dari Allah Swt.  Cahaya itu tersimpan dalam perbendaharaan ghaib. Dia memberikan kepada hati-hati yang suci dan jauh dari maksiat. Semakin banyak ketaatan yang Anda lakukan, maka hati Anda akan semakin suci dan cahaya ilahy akan semakin mudah menghampirinya. Sebaliknya, semakin banyak maksiat yang Anda lakukan, maka hati Anda akan semakin gelap dan hitam, sehingga cahaya itu terhalangi. 

Cobalah Anda perhatikan kertas putih bersih; bagaimana keadaannya jikalau diberikan cahaya. Bukanlah ia akan memantulkannya?!

Kemudian perhatikan pula, bagaimana jikalau ia dipantulkan cahaya dalam keadaan kotor dan hitam. Apakah ia akan mampu memantulkanya?!

Pertanyaan itu tidak perlu dijawab, karena Anda sendiri sudah mengetahui jawaban sebenarnya. Itulah hati Anda, yang harus Anda jaga dengan sebaik-baiknya. 

Tempat Terbitnya Cahaya Allah Swt

Tempat Terbitnya Cahaya Allah Swt


Hikmah Keseratus Lima Puluh Tiga

Tempat Terbitnya Cahaya Allah Swt

مَطَالِعُ الْأَنْوَارِ الْقُلُوْبُ وَالْأَسْرَارِ

“Tempat terbitnya cahaya adalah hati dan relung-relung jiwa.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Apa Anda mengetahui dimana tempat cahaya Ilahy berada?!

Yah, ia berada di dalam hati dan relung-relung jiwa. Ia merupakan tempat mengenal Allah Swt, mengetahui rahasia-rahasinya dan gudang segala kelebihan yang diberikan-Nya kepada para hamba-Nya. 

Cahaya itu memang bersarang di dalam hati, namun perlu Anda ingat bahwa ia tidak akan muncul ke permukaan kecuali dengan bantuan-Nya. Jikalau Anda tidak hati-hati dan selalu larut dalam perbuatan maksiat, maka ia akan akan redup, bahkan tertutupi. 

Berusahalah menjaga cahaya itu dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jikalau Dia telah mengangkat hijab yang ada di dalam hati Anda, maka cahayanya akan terlihat jelas di wajah Anda, bahkan Anda akan mampu melihat sesuatu yang tidak mungkin dilihat dengan mata biasa dan mengetahui rahasia yang tidak diketahui orang lain. 

Pada saat itu, Anda akan mencapai Marifat-Nya, yaitu tingkatan yang dirindukan setiap Salik. 

Malam Kesempitan dan Siang Kelapangan

Malam Kesempitan dan Siang Kelapangan


Hikmah Keseratus Lima Puluh Dua

Malam Kesempitan dan Siang Kelapangan

رُبَمَا أَفَادَكَ فِي لَيْلِ الْقَبْضِ مَا لَمْ تَسْتَفِدْهُ فِي إِشْرَاقِ نَهَارِ الْبَسْطِ. لَا تَدْرُوْنَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا

“Barangkali Allah Swt memberimu faedah di malam kesempitan, yang tidak engkau dapatkan di tengah cahaya siang kelapangan. Kalian tidak mengetahui mana yang lebih bermamfaat bagi kalian.”


Ibn Athaillah al-Sakandari

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)

 

Ketika Anda berada di dalam kesempitan, maka jangan bersedih dan mengeluh, karena bisa jadi Anda mendapatkan hikmah besar di baliknya, yang mungkin tidak akan pernah Anda dapatkan ketika lapang. 

Ketika Anda sengsara, maka rasa harap Anda kepada Allah Swt sangat besar. Semua rasa sombong yang ada di dalam hati Anda akan hancur. Semua rasa egois yang tertanam di dalam dada Anda akan lenyap. Hati Anda akan dipenuhi rasa takut akan azab-Nya dan rasa hina di hadapan-Nya. 

Ini berbeda halnya ketika Anda diberikan kelapangan. Anda akan merasa senang, karena memiliki harta, kebahagiaan dan kesenangan, bahkan Anda berharap ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Jikalau tidak hati-hati, bisa jadi Anda akan terjerumus ke dalam lembah kekufuran, yaitu kufur nikmat dengan tidak pernah mensyukurinya. 

Oleh karena itu, Allah Swt lebih mengetahui mana yang lebih baik bagi Anda. Mungkin Anda menyangka, jikalau Anda kaya dan terus hidup makmur, maka itu tentu lebih baik bagi Anda. Namun Dia berpendapat lain, jikalau Anda sengsara dan hidup serba adanya, maka itu lebih baik bagi Anda. 

Cobalah Anda perhatikan kehidupan di sekeliling Anda. Berapa banyak orang kaya yang tidak mampu bersyukur dan menjalankan perintah Khalik-Nya. Dulu, ketika masih miskin, ia rajin ke Mesjid dan tidak pernah lalai menjalankan perintah-Nya. Namun ketika kekayaan menghampiri-Nya, ia lalai dan larut dalam lautan materi. Memang tidak semua orang seperti itu, namun sebahagian besarnya masuk ke dalam kategori ini. 

Barangkali sesuatu yang Anda benci, ia baik di hadapan-Nya. Dan barangkali sesuatu yang Anda cintai, ia buruk dalam pandangan-Nya. Berusahalah sebaik-baiknya, dan serahkan hasilnya kepada Penguasa Anda. Apa yang ditakdirkan-Nya, maka itu adalah yang terbaik bagi Anda. 

Raja’ (Rasa Harap) dan Khauf (Rasa Takut)

Raja’ (Rasa Harap) dan Khauf (Rasa Takut)


Hikmah Keseratus Lima Puluh Satu 

Raja’ (Rasa Harap) dan Khauf (Rasa Takut)

إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يَفْتَحَ لَكَ بَابَ الرَّجَاءِ فَاشْهَدْ مَا مِنْهُ إِلَيْكَ, وَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ يَفْتَحَ لَكَ بَابَ الْخَوْفِ فَاشْهَدْ مَا مِنْكَ إِلَيْهِ

“Jikalau engkau ingin dibukakan pintu harapan, maka maka perhatikanlah karunia Allah Swt kepadamu. Jikalau engkau ingin dibukakan pintu rasa takut, maka perhatikanlah apa yang engkau persembahkan untuk-Nya.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Jikalau Anda ingin dibukakan pintu Raja’ (rasa harap kepada Allah Swt), maka perhatikanlah semua karunia-Nya kepada Anda. Bukanlah Dia telah memberikan Anda makanan dan minuman, sehingga Anda tidak kelaparan. Bukanlah Dia telah memberikan Anda pakaian, sehingga Anda tidak bertelanjang dan tidak kedinginan. Perhatikanlah bagaimana Dia menempatkan Anda di muka bumi ini, sehingga Anda bisa hidup tenang, tentram dan menikmati semua anugerah-Nya. Jikalau Anda berharap kepada-Nya, maka tidak ada yang mustahil. Jikalau Anda mengharapkan kenikmatan yang lebih baik lagi dan lebih abadi, maka tempatnya adalah surga. Berharaplah kepada-Nya dan jangan pernah berhent berdoa, niscaya Anda akan mendapatkan apa yang Anda inginkan. 

Dan jikalau Anda ingin dibukakan pintu Khauf (rasa takut kepada-Nya), maka perhatikanlah apa yang telah Anda persembahkan kepada-Nya. Apakah amalan yang Anda lakukan selama ini telah maksimal, atau masih dipenuhi kekurangan. Taktala Dia memerintahkan Anda untuk mengerjakan shalat, maka apakah Anda mengerjakannya dengan baik dan penuh keikhlasan. Ketika Anda diperintahkannya untuk tidak dengki dan dendam, maka apakah Anda menjalankanya atau tidak. Perhatikanlah posisi Anda dari semua perintah-Nya dan larangan-Nya. 

Anda telah menikmati semua nikmat-Nya, kemudian Anda bermaksiat kepada-Nya, apakah Anda tidak takut dengan siksaan-Nya, azab-Nya dan neraka-Nya. Kembalilah kepada-Nya dan bertaubatlah dengan sebenar-benarnya. 

Jangan Berputus Asa Karena Suatu Dosa

Jangan Berputus Asa Karena Suatu Dosa


Hikmah Keseratus Lima PuLuh 

Jangan Berputus Asa Karena Suatu Dosa

إِذَا وَقَعَ مِنْكَ ذَنْبٌ فَلَا يَكُنْ سَبَبًا لِيَأْسِكَ مِنْ حُصُوْلِ الْاِسْتِقَامَةِ مَعَ رَبِّكَ, فَقَدْ يَكُوْنُ ذَلِكَ آخِرُ ذَنْبٍ قُدِّرَ عَلَيْكَ

“Jikalau engkau terjerumus ke dalam perbuatan dosa, maka janganlah hal itu menyebabkanmu putus asa untuk memperoleh sikap Istiqamah bersama Tuhanmu, karena bisa jadi itu adalah dosa terakhir yang ditakdirkan untukmu.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Jikalau Anda melakukan suatu dosa, atau telah lama terjerumus ke dalam kubangan dosa, maka janganlah Anda putus asa untuk mendapatkan rahmat-Nya dan Istiqamah di jalan-Nya. Jikalau Anda menyangka, bahwa dosa-dosa yang Anda lakukan selama ini membuat Anda tidak layak mendapatkan pengampunan-Nya, maka itu adalah kesalahan besar dalam berfikir. 

Tidak. Selama Anda tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun, maka Anda bisa kembali kepada-Nya dan mengharapkan ampunan-Nya; selama nyawa Anda belum sampai di kerongkongan dan matahari belum terbit di sebelah barat. Jangan pernah menyangka, bahwa Anda telah ditakdirkan menjadi Ahli Maksiat dan penghuni neraka.

Takdir itu urusan-Nya, dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya; termasuk para Malaikat yang berada di sekeliling Arsy-Nya. Bisa jadi dosa yang Anda lakukan sekarang ini adalah dosa terakhir yang ditakdirkan bagi Anda. Bersegeralah kembali kepada-Nya. Taubatlah dengan sebenar-benarnya. Mudah-mudahan Anda mendapatkan rahmat-Nya dan berhak menempati surga-Nya. 

Sifat Kenak-kanakan Anda

Sifat Kenak-kanakan Anda


Hikmah Keseratus Empat Puluh Sembilan

Sifat Kenak-kanakan Anda

مَتَى كُنْتَ إِذَا أُعْطِيْتَ بَسَطَكَ الْعَطَاءُ, وَإِذَا مُنِعْتَ قَبَضَكَ الْمَنْعُ, فَاسْتَدِلَّ بِذَلِكَ عَلَى ثُبُوْتِ طُفُوْلِيَّتِكَ وَعَدَمِ صِدْقِكَ فِي عُبُوْدِيَّتِكَ

“Ketika engkau diberi, maka engkau akan bahagia. Ketika engkau ditolak, maka engkau akan cemberut. Berdasarkan hal itu ketahuilah, bahwa engkau masih kanak-kanak dan ibadahmu belum tulus.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Perhatikanlah diri Anda baik-baik. Jikalau Anda bahagia ketika mendapatkan apa yang Anda inginkan, dan bersedih ketika tidak berhasil mendapatkan apa yang Anda harapkan, maka itu menunjukkan bahwa Anda masih kekanak-kanakan dan ibadah yang Anda jalankan belum benar. 

Kenapa Anda masih dikatakan masih kanak-kanak?!

Cobalah Anda perhatikan anak Anda sendiri. Jikalau Anda memberikannya hadiah, atau sesuatu yang diinginkannya, bukankah ia akan bahagia. Dan ketika Anda tidak memberikan apa yang diinginkannya, bukankah ia akan menangis. Yah, itulah sifat dan karakter dasar anak-anak. Dan jikalau Anda bersikap seperti itu kepada Allah Swt, artinya Anda belum dewasa sebagai hamba-Nya. Keyakinan dan rasa tawakkal Anda belum mencapai kesempurnaannya. Masih banyak yang harus Anda intropeksi baik-baik. 

Sikap seperti itu juga menunjukkan ketidak tulusan Anda beribadah kepada-Nya. Jikalau ibadah yang Anda kerjakan selama ini tulus dan benar-benar mengharapkan ridho-Nya, maka Anda tidak akan merasakan perbedaan antara diberi dan ditolak. Bagi Anda, keduanya sama saja. Jikalau Dia memberikan apa yang Anda minta, maka Anda bersyukur kepada-Nya, semakin rajin menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Jikalau permintaan Anda ditolak, maka Anda akan intropeksi diri. Jikalau ada kesalahan yang selama ini 

Anda lakukan, maka Anda akan berusaha menjauhinya. Jikalau rasanya tidak ada kesalahan yang Anda lakukan, maka ketahuilah bahwa Dia menginginkan sesuatu yang lebih baik bagi Anda, atau bisa jadi Dia menunda pengabulannya bagi Anda. 

Bagaimanapun, semua yang ditentukan-Nya dan ditakdirkan bagi hamba-Nya adalah point terbaik. Bersyukurlah dan jangan pernah mencela!!

Sikap Orang Zuhud dan Arif Jika Dipuji

Sikap Orang Zuhud dan Arif Jika Dipuji


Hikmah Keseratus Empat Puluh Delapan

Sikap Orang Zuhud dan Arif Jika Dipuji

الزُهَّادُ إِذَا مُدِحُوْا, انْقَبَضُوْا لِشُهُوْدِهِمُ الثَّنَاءَ مِنَ الْخَلْقِ. وَالْعَارِفُوْنَ إِذَا مُدِحُوْا انْبَسَطُوْا لِشُهُوْدِهِمْ ذَلِكَ مِنَ الْمَلِكِ الْحَقِّ

“Jikalau orang-orang zuhud dipuji, maka mereka akan resah karena menurutnya  berasal dari makhluk. Jikalau orang-orang arif dipuji, maka mereka akan senang karena menurutnya berasal dari Penguasa Sebenarnya.” 


Ibn Athaillah al-Sakandari

(Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari)


Orang zuhud adalah orang yang berusaha melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan materi dan kenikmatan dunia, kemudian berusaha mengerahkan segenap tenaganya dan usahanya untuk beribadah kepada Allah Swt, demi menggapai ridho-Nya. Jikalau orang seperti ini dipuji, maka dadanya akan sesak dan tidak rela menerimanya. Ia berpendapat, bahwa pujian itu berasal dari makhluk, bukan dari Khalik. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa pujian yang ditujukan kepadanya itu mengandung unsur kesyirikan, karena yang berhak menerimanya hanyalah Zat Penguasa Semesta Alam. 

Pujian yang diharapkannya hanyalah dari Allah Swt semata, karena semua yang diberikan-Nya dan diucapkan-Nya, tidak ada yang menipu. Semuanya benar. Ini berbanding terbalik dengan ucapan dan pujian makhluk, yang masih disusupi oleh dusta dan kemunafikan. 

Tindakan sebaliknya justru ditunjukkan oleh orang Arif, yaitu sosok yang terkenal bijaksana dalam menghadapi masalah apapun yang dihadapinya, bahkan mencapai Marifat yang didambakan setiap Salik. Ia meyakini, bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak-Nya, termasuk pujian yang disampaikan orang-orang kepadanya. 

Jikalau ada orang yang memujinya, maka ia akan bahagia sekali, karena menggangapnya karunia dari Zat yang Maha Memiliki. Dialah yang telah menciptakan orang-orang tersebut dan menuntun mereka untuk memujinya. Dialah yang menuntun orang-orang untuk mencintainya dan menerima keberadaannya. 

Jikalau Dia mencintai salah seorang hamba-Nya, maka Dia akan menyeru Jibril dan memberitahukannya tentang rasa cinta-Nya. Kemudian Jibril menyeru penduduk langit dan memberitahukan bahwa Allah Swt mencintai Fulan dan memerintahkan mereka mencintainya. Jikalau penduduk langit sudah mencintainya, maka Dia akan memberikan kepadanya penerimaan di bumi, sehingga ia dicintai dan dipuji penduduknya. Artinya, pujian itu sebenarnya berasal dari Rabb Semesta Alam. 

Itulah dua sikap berbeda yang ditunjukkan oleh para Zahid dan para Arif.