Takdir dalam Setiap Hembusan Nafas

Takdir dalam Setiap Hembusan Nafas


Hikmah Kedua Puluh Tiga

مَا مِنْ نَفْسٍ تُبْدِيْهِ إِلَّا وَلَهُ قَدَرٌ فِيْكَ يُمْضِيْهُ

“Tidaklah setiap nafas yang engkau hembuskan, kecuali ada takdir yang berlaku bagi dirimu.”


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Setiap nafas yang Anda hembuskan, maka Allah Swt sudah menetapkan takdirnya semenjak zaman Azali. Oleh karena itu, mamfaatkanlah setiap moment yang ada untuk menggapai cita-cita dan mohonlah taufik-Nya, sehingga ia bisa tercapai. Selama nyawa masih dikandung badan dan selama paru-paru masih bisa bernafas, maka takdir Anda akan tetap berjalan sesuai ketentuan-Nya.

Barangkali Anda ditakdirkan akan mendapatkan kebaikan yang banyak pada hari ini, maka gapailah segara dan jangan lalai. Allah Swt selalu menunjukkan dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan jalan keburukan. Masing-masingnya ada takdir tersendiri yang berbeda dari takdir lainnya. Jikalau, misalnya, Anda menempuh jalan kebaikan, maka takdirnya seperti ini. Sebaliknya, jikalau Anda menempuh jalan keburukan, maka takdirnyapun akan seperti ini. Pilihan ada di tangan Anda, dan takdir ada di tangan-Nya. Jikalau Anda telah berusaha, maka bertawakkallah. 

Meminta kepada Allah dan Selain-Nya

Meminta kepada Allah dan Selain-Nya


Hikmah Kedua Puluh Dua

طَلَبُكَ مِنْهُ اِتِّهَامٌ لَهُ, وَطَلَبُكَ لَهُ غَيْبَةٌ عَنْهُ مِنْكَ, وَطَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّةِ حَيَائِكَ مِنْهُ, وَطَلَبُكُ مِنْ غَيْرِهِ لِوُجُوْدِ بُعْدِكَ عَنْهُ

“Engkau meminta kepada Allah Swt, berarti engkau menuduh-Nya. Engkau meminta kepada-Nya, berarti engkau mengghibah-Nya. Engkau meminta kepada selain-Nya, itu karena sedikitnya rasa malumu. Engkau meminta kepada selain-Nya, itu karena jauhnya dirimu dari diri-Nya. 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Ketika Anda berdoa kepada Allah Swt dan memohon sesuatu, kemudian Anda berprasangka bahwa Anda tidak akan mendapatkannya kecuali berdoa, berarti Anda menuduh-Nya dengan tuduhan yang dusta. Walaupun, misalnya, Anda tidak meminta kepada-Nya, namun jikalau itu adalah bagian Anda, maka Dia akan memberikannya. 

Doa yang Anda panjatkan adalah bukti kefakiran Anda dan kebutuhan Anda kepada-Nya. Dan ia adalah bukti kesempurnaan Ubudiyyah Anda kepada-Nya. Sebagai seorang hamba, Anda harus yahin bahwa apa yang dijanjikan-Nya akan ditunaikan-Nya. Doa adalah otak ibadah dan merupakan senjata orang mukmin. Apa yang telah ditakdirkan menjadi bagian Anda, maka Dia akan memberikannya sesuai porsinya dan pada waktunya. 

Allah Swt lebih dekat kepada hamba-Nya dari urat leher. Dia selalu bersamamu dimanapun Anda berada. 

Jikalau Anda berada di Mesjid, maka Dia ada bersamamu. Jikalau Anda berada di kantor, maka Dia akan bersamamu. Jikalau Anda di sawah, maka Dia ada bersamamu. 

Bukalah mata batinmu, maka Anda akan mendapatinya. Untuk apa Anda mencari-Nya, karena Dia ada dalam setiap langkah Anda. Jikalau Anda tidak mampu melihat-Nya, berarti mata batin Anda tertutup dan terhijab oleh diri Anda sendiri, yaitu amal perbuatan Anda yang tidak diridhoi-Nya, sehingga mata batin Anda semakin buta dan berkarat, serta tidak ada cahayanya lagi.

Jikalau Anda meminta kepada selain-Nya; padahal Dia selalu ada di dekatmu dan bersamamu, maka itu karena Anda sama sekali tidak memiliki rasa malu kepada-Nya. Bagaimana Anda meminta kepada sesuatu yang tidak berhak dijadikan sekutu-Nya. 

Bagaimana Anda meninggalkan Zat Penguasa dan Pencipta, kemudian berpaling menuju sesuatu yang dikuasai dan dicipta. 

Jikalau Anda meminta kepada selain-Nya yang tidak diizinkan-Nya, maka itu adalah tanda kejauhanmu dari diri-Nya. Sudahlah, kembalikalah segala urusan Anda kepada-Nya dan bertawakkallah kepada-Nya. Semua takdir berada di tangan-Nya. Janganlah meminta kepada selain-Nya, karena itu adalah kesia-siaan yang tidak akan menghasilkan apapun, kecuali dosa dan kesyirikan. 

Konsentrasi dengan Tujuan

Konsentrasi dengan Tujuan


Hikmah Kedua Puluh Satu

مَا أَرَادَتْ هِمَّةُ سَالِكٍ أَنْ تَقِفَ عِنْدَ مَا كُشِفَ لَهَا إِلَّا وَنَادَتْهُ هَوَاتِفُ الحْقِيْقَةِ: الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ. وَلَا تَبَرَّهَتْ ظَوَاهِرُ الْمُكَوَّنَاتِ إِلَّا وَنَادَتْكَ حَقِيْقَتُهَا: إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“Tidaklah semangat seorang Salik (ahli ibadah) ingin berhenti ketika dibukakan baginya (hal ghaib), kecuali seruan hakikat berkata kepadanya: Yang engkau cari berada di hadapanmu. Dan tidaklah ketika terlihat fenomena-fenomana indah di hadapannya, kecuali hakikat berkata kepadanya: Kami hanyalah fitnah, maka janganlah engkau kufur.”


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam Ibn Athaillah al-Sakandari]

***

 

Ketika seorang Ahli Ibadah mampu mengetahui dan memahami rahasia-rahasia di balik sebuah kejadian, maka hendaklah semangatnya tidak melemah dan merasa telah mencapai tujuannya. Tidak, sama sekali tidak. Ia belum mencapai tujuannya. Ketika ia merasa sudah sampai di finish, maka hakikat akan memanggilnya dan menyerbunya bahwa tujuannya masih jauh di depan dan harus terus di tempuhnya. 

Ingatlah, bahwa jalan menuju Allah Swt adalah jalan panjang dan tidak akan pernah ada habisnya. Selama nyawa masih dikandung badan dan selama nafas masih berhembus, maka seorang hamba harus terus berusaha dan berlari menghampiri tujuannya. Jikalau ia sudah mencapai tingkat hikmah, maka itu hanyalah tahapan perjalanannya, belum ujungnya. 

Berapa banyak Anda saksikan fenomena di masyarakat, ketika seorang Ahli Ibadah tertipu oleh ibadahnya sendiri. Ketika ia mampu melakukan sesuatu yang luar biasa, maka ia takjub dan merasa telah mencapai maqam tertinggi. Tidak, sebenarnya tidak. Bisa jadi ia ditipu oleh setan, sehingga ia takjub dengan dirinya sendiri dan merasa sudah tidak membutuhkan ibadah lagi kepada-Nya. 

Janganlah Anda takjub melihat seseorang yang bisa melakukan perkara luar biasa, sampai Anda benar-benar menyaksikan ibadahnya, kedekatannya kepada Allah Swt dan kesesuaian amalannya dengan tuntunan Rasulullah Saw. 

Imam Al-Alusy mengatakan: 

“Jikalau engkau melihat seseorang yang mampu terbang di udara dan mampu berjalan di atas air, maka janganlah takjub dulu, sampai engkau melihat amalan-amalannya.” 

Dan jikalau Anda mendapatkan kenikmatan dunia, baik wanita, jabatan, kemewahan dan sebagainya, maka janganlah terlena. Apa yang ada dapatkan itu sama sekali tidak ingin dijadikan serikat/sekutu bagi Tuhannya. Semua itu hanyalah makhluk dan perhiasan belaka. Jikalau tidak hati-hati, maka Anda akan terlena dan larut dalam kefanaan, sehingga Anda melupakan ibadah kepada-Nya, bahkan menjauh sejauh-jauhnya. 

Na’udzubillah Min Dzalik. 

Meminta yang Tidak Seharusnya

Meminta yang Tidak Seharusnya


Hikmah Kedua Puluh

لَا تَطْلُبْ مِنْهُ أَنْ يُخْرِجَكَ مِنْ حَالَةٍ لِيَسْتَعْمِلَكَ فِيْمَا سِوَاهَا فَلَوْ أَرَادَكَ لَاسْتَعْمَلَكَ مِنْ غَيْرِ إِخْرَاجٍ

“Janganlah meminta Allah Swt untuk mengeluarkanmu dari suatu keadaan dan ditempatkan dalam keadaan lainnya. Jikalai Dia menginginkannya, maka Dia akan menempatkanmu, tanpa harus mengeluarkanmu.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Janganlah Anda meminta kepada Allah Swt agar dikeluarkan dari suatu keadaan yang sebenarnya tidak dilarang dalam Syara’ menuju keadaan yang lebih baik. Misalnya, dalam Tasawwuf kita mengenal beberapa tingkatan dalam usaha menuju Maqam tertinggi. Dimulai dari sabar, syukur, tobat, tawakkal dan lain-lain. Jikalau, misalnya, Anda berada di maqam sabar, maka janganlah meminta untuk meninggalkan sifat sabar untuk bisa menduduki sifar syukur. 

Jikalau Anda menginginkannya, maka Anda tidak harus meninggalkan sifat sebelumnya. Antara sabar dan syukur itu bisa digabungkan, dan keduanya sama sekali tidak kontradiksi. Dan Allah Swt mampu menempatkan Anda di kedua posisi tersebut, tanpa ada masalah sedikitpun. Bahkan Dia bisa menempatkan Anda di semua posisi tersebut tanpa harus meninggalkan salah satunya. 

Keadaan yang baik adalah keadaan yang harus disyukri. Dan janganlah meminta yang lebih tinggi dengan meninggalkan keadaan yang sekarang Anda jalani. []

Sunnah Meminimalisir Pembicaraan

Sunnah Meminimalisir Pembicaraan


Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu berkata kepada para sahabatnya: 
إنَّ مِن أحبِّكم إليَّ وأقربِكُم منِّي مجلسًا يومَ القيامةِ أحاسنَكُم أخلاقًا ، وإنَّ مِن أبغضِكُم إليَّ وأبعدِكُم منِّي يومَ القيامةِ الثَّرثارونَ والمتشدِّقونَ والمتفَيهِقونَ
"Sesunggunya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat kedudukannya denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada Hari Kiamat adalah al-Tsartsarun, al-MuTasyaddiqun dan al-Mutafaihiqun." 
Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, kami sudah paham makna al-Tsartsarun dan al-MuTasyaddiqun, namun apakah itu al-Mutafaihiqun?"
"Orang-orang yang sombong," Jawabnya. 
Dalam hadits ini, ada tiga sifat buruk yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw, yang dikategorikan ke dalam akhlak buruk. 
Pertama, al-Tsartsarun. Maksudnya, orang yang banyak bicara, padahal tidak ada atau sedikit faedahnya. 
Kedua, al-MuTasyaddiqun. Maksudnya, orang yang suka menfasih-fasihkan pembicaraannya. Bicara melangit dengan niat meremehkan orang lain, ingin menunjukkan kehebatannya. 
Ketiga, al-Mutafaihiqun. Maksudnya, orang-orang yang suka menyombongkan diri. 
Kita, sebagai seorang Muslim, memang diminta untuk meminimalisir atau mempersedikit bicara. Jikalau tidak perlu, diam lebih baik. 
Banyak bicara, banyak salahnya. Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu mengatakan, "Siapa yang banyak bicaranya, banyak salahnya." 
Pun Fudhail bin Iyadh mengatakan, "Mukmin itu banyak amalnya sedikit bicaranya. Munafik, banyak bicaranya sedikit amalnya." 
Nabi Saw dalam salah satu hadits beliau yang Masyhur, diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, yang dishahihkan oleh Imam al-Bukhari, mengatakan: 
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ
"Siapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir, maka ucapkanlah yang baik atau diam." []