Kebodohan yang Nyata

Kebodohan yang Nyata


Hikmah Kedelapan Belas

مَا تَرَكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْئًا مَنْ أَرَادَ أَنْ يُحْدِثَ فِي الْوَقْتِ غَيْرَ مَا أَظْهَرَهُ اللهُ فِيْهِ

“Merupakan suatu bentuk kebodohon jikalau seseorang menginginkan sesuatu terjadi pada waktu yang tidak diinginkan oleh Allah Swt.” 


(Ibn Athailllah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Merupakan bentuk kebodohan yang nyata, jikalau Anda menginginkan sesuatu terjadi bukan pada waktu yang diinginkan oleh Allah Swt. Anda hanyalah hamba-Nya yang hina dan fakir, serta tidak memiliki hak intervensi dalam setiap ketentuan-Nya. Jikalau Dia menginginkan sesuatu belum terjadi pada waktu yang Anda inginkan, maka ketahuilah bahwa di balik itu ada kebaikan yang belum bisa Anda cerna dengan kemampuan akal Anda yang terbatas. 

Dia tidak mungkin menginginkan keburukan bagi hamba-Nya. Segala ketentuan-Nya dan takdir-Nya adalah kebaikan dan mashlahat. Walaupuan Anda melihatnya keburukan, seperti bencana, banjir, longsor dan sejenisnya, maka ada kebaikan besar di baliknya yang tidak bisa dibandingkan dengan keburukan yang menimpa. 

Begitu juga halnya ketika Anda berdoa. Kadang-kadang Anda tergesa-gesa mengharapkan pengabulannya; padahal di mata-Nya lebih baik di undur, atau digantikan dengan yang lebih baik. Oleh karena itu, tunduklah dengan ketentuan-Nya dan keputusan-Nya, karena Dia tidak akan pernah mencelakakan hamba-Nya dan membebani mereka di luar kemampuannya. []

Bagaimana Allah Swt Bisa Terhijab?!

Bagaimana Allah Swt Bisa Terhijab?!


Hikmah Ketujuh Belas

Bagaimana Allah Swt Bisa Terhijab?!

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الَّذِي أَظْهَرَ كُلَّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءُ وَهُوَ الَّذِي ظَهَرَ بِكُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الَّذِي ظَهَرَ فِي كُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ ظَهَرَ لِكُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ قَبْلَ وُجُوْدِ كُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ أََظْهَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الْوَاحِدُ الَّذِي لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجِبَهُ شَيْءٌ وَلَوْلَاهُ مَاكَانَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ. يَا عَجَبًا, كَيْفَ يَظْهَرُ الْوُجُوْدُ فِي الْعَدَمِ. أَمْ كَيْفَ يَثْبُتُ الحْاَدِثُ مَعَ مَنْ لَهُ وَصْفُ الْقِدَمِ

“Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Allah Swt terhijab oleh sesuatu; padahal Dia lah yang menampakkan segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia tampak di segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia tampak dalam segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia tampak untuk segala sesuatu. Bagimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia telah tampak sebelum segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh segala sesuatu; padahal Dia lebih tampak dari segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia adalah Zat yang Maha Esa dan tidak sesuatupun yang bersama-Nya. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan, bahwa Dia terhijab oleh sesuatu; padahal jikalau bukan karena-Nya, maka tidak akan ada segala sesuatu. Sungguh menakjubkan, bagaimana wujud itu bisa ada di dalam ketiadaan. Atau bagaimana sesuatu yang baru bisa menetap bersama sesuatu yang memiliki sifat  Maha Terdahulu.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Bagaimana akal sehat bisa membayangkan, bahwa Allah Swt yang menciptakan segala sesuatu, bisa dihalangi oleh makhluk yang diciptakan-Nya. Ini adalah sebuah kemustahilan yang tidak mungkin diyakini dan dipercayai, kecuali oleh orang-orang yang ada masalah di otaknya. Sedangkan orang-orang yang berakal sehat, maka mereka tidak akan pernah mempercayainya. 

Bagaimana akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh segala sesuatu yang justru menampakkan kekuasaan-Nya. Dia ada di segala sesuatu, di dalamnya dan untuknya, yaitu sifat-sifatNya yang menunjukkan jati diri-Nya. Jikalau Anda melihat ibu yang mengasihi anak-anaknya dan sangat menyayanginya, maka ketahuilah bahwa kasih sayang-Nya melebihi semua itu. Jikalau Anda melihat seorang yang dermawan dan mengeluarkan bagian hartanya tanpa berfikir panjang, maka ketahuilah bahwa Dia lebih dermawan dari itu. 

Bagaimana akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu; padahal Dia adalah Zat yang pertama kali ada, dan tidak ada sesuatu sebelum-Nya. Dia adalah yang pertama, dan Dia adalah yang terakhir. Semua kekuasaan dan kehendak berada di tangan-Nya. Jikalau Dia menginginkan sesuatu, maka Dia cukup mengatakan: Terjadilah, maka ia akan terjadi. 

Bagaimana akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu; padahal Dia adalah Zat yang Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Coba Anda sebutkan satu persatu makhluk yang ada di semesta ini, maka tidak ada satupun yang mampu melampaui kekuasaan-Nya. Bagaimana mungkin seorang makhluk mampu melampui kekuasaan Khalik-Nya. Tidak ada akal sehat yang mampu menerima pernyataan ini. 

Bagaimana mungkin akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu padahal Dia adalah Zat yang Maha Esa. Dia adalah Tunggal, dan tidak ada seorangpun yang bersama-Nya. Dia tidak memiliki anak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada seorangpun yang sepadan dengan-Nya. Ini sangat berbeda sekali dengan keyakinan orang-orang Nashrany yang mengatakan, bahwa Tuhan itu tiga dalam satu: Tuhan Ayah, Tuhan Ibu dan Tuhan Anak. Ini adalah pemikiran kacau yang sulit, bahkan tidak mungkin diterima logika. 

Bagaimana mungkin akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu; padahal Dia lebih dekat kepada hamba-Nya dan makhluk-Nya dari segala sesuatu. Dia selalu mengawasi di setiap waktu. Dia tahu apa yang dikerjakan makhluk-Nya. Dia bisa melihat apa yang dilakukan semut hitam di kegelapan malam, dan debu kecil yang beterbangan di hembus angin. Intinya, Dia bisa melihat apapun yang terjadi di alam semesta ini, sehingga Dia tidak mungkin terhijab oleh sesuatu yang berada di bahwa kuasa-Nya. 

Bagaimana mungkin akal sehat akan membayangkan, bahwa Dia akan terhijab oleh sesuatu; pahadal jikalau bukan karena diri-Nya, maka sesuatu tidak ada. Bagaimana Dia akan terhijab oleh makhluk; padahal makhluk itu adalah ciptaan-Nya. Bagaimana mungkin ia akan terhijab oleh setan; padahal setan itu adalah makhluk-Nya dan berada di bawah kekuasaan-Nya. Jikalau Dia mengatakan: Mati, maka semuanya akan mati tiada bernyawa lagi. 

Sungguh menakjubkan, bagaimana mungkin sesuatu yang awalnya tidak ada dan kemudian diciptakan, ia bisa menempati posisi Zat yang Maha berdiri sendiri dan Maha Awwal. Dan bagaimana mungkin sesuatu yang baru bisa disandingkan dengan sesuatu yang bersifat Qidam. Ini adalah sebuah kemustahilan yang nyata. 

Ingatlah, bahwa wujud yang sebenarnya adalah wujud Allah Swt. Sedangkan Anda dan seluruh makhluk-Nya adalah sesuatu yang diciptakan dan berada di bawah genggaman-Nya. Wujud Anda sama dengan ketiadaan. Anda tidak memiliki kuasa apapun. Jikalaupun Anda seorang raja atau penguasa, maka kekuasaan Anda hanyalah pinjaman belaka, dan berhak diambil oleh pemiliknya suatu hari nanti; sebagaimana halnya nyawa yang berada di dalam diri Anda. []

Hijab Alam Semesta

Hijab Alam Semesta


Hikmah Keenam Belas

Hijab Alam Semesta

مِمَّا يَدُلُّكَ عَلَى وُجُوْدِ قَهْرِهِ سُبْحَانَهُ أَنْ حَجَبَكَ عَنْهُ بِمَا لَيْسَ بِمَوْجُوْدٍ مَعَهُ

“Di antara tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah Swt  kepadamu adalah ketika Dia menghijabmu dari diri-Nya dengan sesuatu yang tidak ada bersama-Nya.”

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Alam Semesta adalah sesuatu yang tidak berada bersama Allah Swt. Dan bayangkanlah, bagaimana Dia menghinjabmu dari diri-Nya dengan sesuatu yang tidak ada bersamanya. Itu adalah salah satu tanda kekuasaan-Nya dan membuktikan ke-Maha Perkasaan-Nya. 

Di bagian sebelumnya telah dijelaskan, bahwa alam ini mengandung pantulan Ilahi. Barangsiapa yang melihatnya, kemudian tidak melihat Allah Swt di dalamnya, maka mata hatinya buta dan cahaya jiwanya padam. Cukuplah Anda perhatikan gunung-gunung yang menjulang tinggi, angin yang berhembus kencang, pergantian siang dan malam, debur ombak pantai dan sebagainya, semua itu adalah gambaran kekuasaan-Nya. 

Barangsiapa yang tidak mampu memikirkannya, berarti ia terhijab dari diri-Nya. []

Cahaya Allah

Cahaya Allah


Hikmah Kelima Belas

Cahaya Allah

الْكَوْنُ كُلُّهُ ظُلْمَةٌ وَإِنَّمَا أَنَارَهُ ظُهُوْرُ الْحَقِّ فِيْهِ. فَمَنْ رَأَى الْكَوْنَ وَلَمْ يَشْهَدْهُ فِيْهِ أَوْ عِنْدَهُ أَوْ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ فَقَدْ أَعْوَزَهُ وُجُوْدُ الْأَنْوَارِ وَحُجِبَتْ عَنْهُ شُمُوْسُ الْمَعَارِفِ بِسُحُبِ الْآثَارِ

“Seluruh alam semesta adalah kegelapan, dan yang menyinarinya adalah keberadaan Allah Swt di dalamnya. Barangsiapa yang melihat alam, kemudian tidak melihat-Nya di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelumnya atau sesudahnya, berarti ia telah disilaukan oleh sinar dan terhijab dari matahari Marifat oleh awan-awan alam.” 

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Seorang hamba yang hatinya bergantung dengan alam semesta, yaitu selain Allah Swt, baik harta, jabatan, keluarga, istri dan sebagainya, maka ia akan terhijab dari cahaya-Nya. Hatinya akan gelap dan tidak mampu melihat hakikat yang berada di balik suatu rahasia. Jikalau terus dibiarkan dan tidak dibersihkan, maka cahaya hatinya lama-kelamaan akan padam, sehingga ia tidak bisa lagi merasakan efek dosa yang menimpanya. 

Dan hanya satu Zat yang bisa meneranginya, yaitu keberadaan Allah Swt. Akan tetapi ini bukanlah bermakna Wihdatul Wujud/ Hulul, yaitu menyatunya seorang hamba dengan Allah Swt. Ini adalah faham melenceng yang sama sekali tidak dilegalisir dalam Aqidah Ahli As-Sunnah Wal Jama’ah. Maksudnya, ketika hati itu sudah dihiasi dengan sifat-sifatNya yang layak dimiliki, seperti penyayang, pengasih, suka membantu dan sebagainya, maka ia akan mendapatkan cahaya-Nya. Ia akan mampu melihat kebenaran. Hati kecilnya selalu akan menujukkan kebenaran. 

Dan jikalau seorang hamba melihat alam semesta, kemudian tidak melihat-Nya, maka itu adalah tanda kebutaan hatinya dan tertutupnya pandangan batinnya. Bukanlah Dia berfirman dalam Al-Quran Al-Karim: 

“Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi.” [Az-Zukhruf: 84]

Begitu juga halnya jikalau ia tidak bisa melihat-Nya di sisinya, padahal Dia lebih dekat dari urat lehernya. Sebagaimana firman-Nya: 

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [Qaaf: 16]

Atau ia juga tidak bisa memahami, bahwa Dia adalah Zat yang Maha Awwal dan Maha Akhir. Tidak ada seorangpun atau apapun sebelum-Nya, dan tidak ada seorangpun atau apapun sesudah-Nya. Ingatlah firman-Nya dalam Al-Quran Al-Karim: 

“Dialah yang Awal dan yang Akhir.” [Al-Hadid: 3]

Melihat-Nya di alam semesta ini bukan berarti Anda melihat-Nya dengan mata telanjang. Maksudnya, Anda mampu melihat kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya. Ketika Anda melihat pemandangan yang indah, maka Anda takjub dan semakin mengetahui ke-Maha Besaran-Nya. Jikalau Anda melihat hujan lebat yang diiringi angin topan, maka Anda kagum dengan ke-Maha Dahsyatan-Nya. 

Sedangkan orang yang tertutup cahaya hatinya, maka ia tidak akan mampu memahami semua ini. Jikalau ia melihat pemandangan yang indah, maka ia hanya bisa menikmatinya saja tanpa merenungkan siapa Penciptanya. Jikalau ia mencicipi makanan yang enak, maka ia hanya bisa merasakan saja tanpa berusaha memikirkan siapa yang telah memberikan kenikmatan itu kepadanya. 

Di alam semesta ini terbentang ayat-ayat Allah Swt. Oleh karena itu, para Ulama membagi ayat-Nya menjadi dua bagian: Ayat Quraniyyah dan Ayat Kauniyyah. Ayat Quraniyyah adalah ayat-ayat yang terdapat dalam Mushaf. Sedangkan ayat-ayat Kauniyah adalah ayat-ayat yang terdapat di alam semesta ini. Dan itu tidak akan mampu dilihat dan diketahui oleh orang-orang yang hatinya terhijab, [] 

Cahaya Hati

Cahaya Hati


Hikmah Keempat Belas

Cahaya Hati

كَيْفَ يَشْرِقُ قَلْبٌ, صُوَرُ الْأَكْوَانِ مُنْطَبِعَةٌ فِي مِرْآتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَهُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَهُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْجُو أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَهُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ

“Bagaimana hati akan bercahaya, jikalau gambaran-gambaran dunia sudah melekat di cerminnya. Atau bagaimana ia akan menuju Allah Swt, jikalau ia masih terikat syahwat-syahwatnya. Atau bagaimana ia ingin memasuki hadirat-Nya, jikalau ia belum membersihkan dirinya dari junub kelalaian-kelalaiannya. Atau bagaimana ia bisa berharap mampu memahami inti rahasia-rahasia, jikalau ia belum bertaubat dari kesalahan-kesalahannya?!”

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Bagaimana mungkin hati Anda akan mendapatkan cahaya Allah Swt, jikalau Anda masih memperserikatkan-Nya dengan makhluknya. Anda lebih mementingkan dunia dari diri-Nya. Jikalau Anda shalat, maka Anda mengerjakannya demi pujian. Jikalau Anda bersedekah, maka Anda mengharapkan balasan materi semata. Jikalau Anda menunaikan haji, maka Anda ingin dihormati. Ikhlaskanlah niat Anda terlebih dahulu, maka semua hasrat dunia akan mengikuti Anda; walaupuan Anda tidak menginginkannya. 

Jikalau Anda ingin mendapatkan cahaya-Nya, maka lepaskanlah gambaran-gambaran dunia yang ada di dalam hati Anda. Ikhlaskanlah diri berbadah kepada-Nya. Di dalam hati seorang hamba, tidak mungkin berkumpulan dua penguasa. Hanya boleh satu saja, yaitu Allah Swt.

Bagaimana Anda bisa mencicipi rasa manisnya mencintai Allah Swt, jikalau Anda masih larut dalam syahwat-syahwat keduniaan. Jikalau tidak ada uang, maka Anda akan meninggalkan ibadah kepada-Nya. Sibuk dengan dunia. Dan jikalau Anda memiliki harta, maka Anda melupakannya begitu saja. Syahwat dunia telah membelunggu Anda, sehingga Andapun terhijab mendapatkan Marifat-Nya. 

Jikalau Anda ingin menuju-Nya, maka lepaskanlah ikatan itu. Jangan biarkan satupun menempel di badan Anda. Ikatan syahwat itu ibarat benalu. Jikalau dibiarkan, maka ia akan menguasainya, dan Anda akan sulit melepaskannya. 

Bagaimana Anda bisa melihat-Nya di Akhirat kelak, jikalau semasa di dunia ini Anda lalai beribah kepada-Nya. Hanyalah orang-orang shaleh dan bersungguh-sungguh saja yang berhak mendapatkannya. 

Oleh karena itu, jikalau datang waktu shalat, maka kerjakanlah pada waktunya. Jikalau datang waktu berzakat, maka keluarkanlah segera. Dan jikalau kemampuan haji sudah terpenuhi, maka tunaikanlah segera. Jangan dilalaikan. 

Dan bagaimana Anda akan mampu memehami rahasia-rahasia Ilahi, jikalau Anda tidak pernah bertaubat Nashuha kepada-Nya. Jikalaupun Anda bertaubat, maka biasanya Anda hanya bisa meninggalkan perbuatan dosa itu sementara saja. Tidak berselang lama, perbuatan itu kembali dikerjakan. 

Bagaimana hati akan bersinar, jikalau hati Anda terus dilumuri dosa dan maksiat. Bersihkan segera dengan taubat nashuha, agar ia bisa bening dan mendapatkan pantulan cahaya Ilahi. [] 

Sunnah Bertahmid Menjelang Tidur

Sunnah Bertahmid Menjelang Tidur


Andaikan kita mau menghitung betapa banyaknya nikmat yang Allah SWT karuniakan kepada kita, maka kita tidak akan pernah mampu melakukannya. 
Hanya saja, kadangkala atau seringkali, kita terfokus melihat apa yang dimiliki orang lain dan kita tidak memilikinya, kemudian lupa dengan limpahan nikmat yang kita nikmati setiap harinya, setiap jamnya, setiap menitnya, dan setiap detiknya. 
Dalam al-Quran dijelaskan: 
وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ
Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai kurnia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya)." (Surat al-Naml: 73)
Para ulama sejak lama menjelaskan, salah satu bahaya yang mengintai kita adalah terbiasa dengan suatu nikmat, kemudian menganggapnya tidak penting. Padahal ketika ia hilang, kita benar-benar akan merasakan akibatnya. Nikmat bernafas, salah satunya. Nikmat bisa makan dan menikmatinya. Nikmat bisa minum dan menikmatinya. Nikmat adanya tempat berlindung dan bernaung. Dan banyak lagi yang lainnya.  
Dalam ayat lainnya dijelaskan bahwa hamba Allah SWT yang mau bersyukur itu sedikit. 
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (Surat Saba': 13)
Kita semuanya berharap menjadi bagian yang hamba Allah SWT yang sedikit tersebut. 
Maka, salah satu sunnah Rasulullah Saw, beliau selalu bersyukur sebelum tidur, sehingga amalan terakhirnya sebelum memejamkan mata untuk beristirahat adalah bertahmid memuji Allah SWT atas limpahan nikmat-Nya. 
Dalam riwayat Muslim, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw jikalau akan menghampiri tempat tidurnya, maka beliau membaca: 
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِيَ لَهُ وَلاَ مُئْوِيَ
"Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberi kami makan, memberi kami minum, mencukupkan kami, dan melindungi kami. Berapa banyak orang yang tidak mempunyai yang mencukupinya dan yang melindunginya."
Semoga sunnah ini menjadi amalan kita juga hendaknya.[]
Uzlah

Uzlah


Hikmah Ketiga Belas

مَا نَفَعَ الْقَلْبُ مِثْلُ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مَيْدَانُ فِكْرَةٍ

“Tidak ada yang bisa memberikan mamfaat kepada hati seperti mamfaat yang diberikan oleh Uzlah, yang digunakannya untuk memasuki medan pemikiran/perenungan.”

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Jikalau hati sudah berkarat oleh dosa dan maksiat, maka tidak ada cara lain untuk menjernihkannya kecuali dengan Uzlah, yaitu menyendiri untuk beribadah kepada Allah Swt. Semakin ia bergaul dengan masyarakat, maka semakin besar kesempatannya berbuat maksiat. Dan semakin banyak maksiat yang dilakukannya, maka akan semakin hitam hatinya. Jikalau hati sudah hitam, maka hidayah-Nya akan semakin jauh. Rasa keimanannya akan menipis. Jikalau, misalnya, suatu hari ia meninggalkan shalat fardhu, maka ia akan merasa biasa-biasa saja. Ia tidak merasa berdosa, dan tidak merasa ada sesuatu yang hilang dan belum dilaksanakan. 

Perenungan yang dilakukan ketika Uzlah itu bermamfaat untuk mengikis bekas-bekas hitam dan karat yang menempal di hati. Ia tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena jikalau tidak dihilangkan, maka ia akan kehilangan kenikmatan Islam. Akhirnya, ia akan mudah dituntutan setan meninggalkan agama yang hanif ini. 

Iman itu berada di dalam hati, dan ia tidak boleh dikotori, agar keimanannya tetap bersih dan kokoh. []

Rendahkanlah Dirimu

Rendahkanlah Dirimu


Hikmah Kedua Belas

اِدْفَنْ وُجُوْدَكَ فِي أَرْضِ الْخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمُّ نَتَاجُهُ

“Tanamlah wujudmu di tanah kerendahan. Sesuatu yang tumbuh namun tanpa ditanam, maka hasilnya tidak akan sempurna.” 

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Wahai hamba Allah Swt, janganlah suka meninggikan diri dan hidup penuh kesombongan. Rendahkanlah dirimu dan Tawadhulah. Jadilah orang biasa, seakan-akan Anda bukanlah siapa-siapa. Jadikanlah dirimu hina di hadapan-Nya, yaitu seseorang yang miskin dan selalu mengharapkan bantuan-Nya. 

Janganlah tertipu dengan banyak amalan yang Anda lakukan. Anggaplah, bahwa apa yang Anda lakukan tidaklah seberapa jikalau dibandingkan dengan karunia-Nya. Sibukkanlah dirimu  dengan ibadah, dan jangan menyibukkannya dengan riya. Jikalau Anda melakukannya, maka amalan Anda akan terbang dan berhamburan sia-sia. 

Janganlah mengharapkan ketenaran sebelum Anda berhak mendapatkannya. Tunggulah masanya. 

Jikalau waktunya sudah tiba, maka Anda akan akan tenar dengan sendirinya di hadapan manusia; walaupun pada waktu itu Anda tidak menginginkannya sama sekali. Lihatlah sekeliling Anda, berapa banyak di antara manusia yang ingin tenar dan dikenal luas di kalangan khalayak, namun ia justru dihinakan-Nya. Ia belum siap menerima ketenaran itu dan berusaha keras mendapatkannya; walaupuan caranya salah, sehinggal hasilnya adalah kehancuran. 

Hiduplah sesuai tuntutan-Nya, maka Anda akan beruntung di dunia dan di akhirat kelak. []

Amal dan Ikhlas

Amal dan Ikhlas


Hikmah Kesebelas

الْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَأَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيْهَا

“Amal adalah kerangka tegak, dan ruhnya adalah rahasia ikhlas yang ada di dalamnya.” 

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Amalan apapun yang Anda kerjakan adalah ibarat patung atau kerangka yang tidak nyawanya sama sekali. Ia hanyalah gambaran saja, dan tidak ada yang menggerakannya. Ia hanya bisa digerakkan jikalau ada ruhnya, yaitu ikhlas. 

Ketika Anda mengerjakan suatu amalan, maka ada dua syarat yang perlu Anda penuhi, sehingga amalan Anda diterima oleh Allah Swt: 

1)Ikhlas

Ikhlas adalah tiang utama dalam suatu amalan. Jikalau ia tiada, maka amalanpun tidak akan diterima. Jangan sampai seorang hamba meniatkan amalannya dan ibadahnya untuk selain Allah Swt. Walaupun, misalnya, dia membaca nama-Nya ketika melakukannya, namun jikalau niatnya sudah menyekutukan-Nya, maka amalannya tetap batal dan tidak sah. 

2)Harus sesuai tuntunan Rasulullah Saw. 

Perkara kedua yang perlu diperhatikan dalam suatu amalan adalah kesesuaiannya dengan tuntunan Rasulullah Saw. Boleh jadi seseorang menghabiskan seluruh waktunya untuk beramal dan beramal, namun jikalau tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw, maka amalannya sia-sia belaka. Ia hanya mendapatkan nol besar dan kelelahan semata. 

Dua elemen ini harus ada dalam suatu amalan, agar ia diterima di hadapan Allah Swt. [] 

Amalan yang Berbeda-beda

Amalan yang Berbeda-beda


Hikmah Kesepuluh

تَنَوَّعَتْ أَجْنَاسُ الْأَعْمَالِ لِتَنَوُّعِ وَارِدَاتِ الْأَحْوَالِ

“Jenis amalan yang berbeda-beda adalah akibat keadaan yang berbeda-beda pula.”

(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam Ibn Athaillah al-Sakandari]

***


Berbeda-bedanya amalan yang dikerjakan seorang hamba dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka itu adalah efek keadaan yang berbeda-beda juga, baik fisik, materi dan sebagainya. 

Seseorang yang berbadan sehat, tentu berbeda amalannya dengan seseorang yang sedang menderita kesakitan. Seseorang yang memiliki limpahan harta, tentu berbeda amalannya dengan seseorang yang hidup sederhana, atau miskin. 

Hanya saja perlu Anda ketahui, bahwa pahala amalan itu tergantung kesulitan yang dialami pelakunya. Uang seribu rupiah yang dikeluarkan oleh seorang miskin, tentu beda nilainya dan tingkat kesulitannya bagi orang kaya yang bersedekah sebanyak seratus ribu. Bagi orang miskin, uang seribu itu sangat berharga sekali, bahkan bisa digunakan untuk menambah uang makannya. Demi bersedekah, kadang-kadang ia rela menahan nafsu makannya. Berbeda halnya dengan orang kaya, baginya uang seribu atau seratus ribu itu hanyalah secuil hartanya. Tidak ada pengaruhnya sama sekali. 

Intinya, timbangan amalan itu adalah ikhlas, bukan banyak atau sedikitnya, karena keadaan masing-masing orang juga berbeda-beda.[]