Kenikmatan Dunia dan Taufik Allah Swt

Kenikmatan Dunia dan Taufik Allah Swt


Hikmah Kedelapan Puluh Empat

رُبَمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ, وَرُبَمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ

“Barangkali Allah Swt  memberikanmu (nikmat dunia), namun menghalangimu (nikmat akhirat). Dan barangkali Dia menghalangimu (nikmat dunia), namun memberimu (nikmat akhirat).” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Bisa jadi Allah Swt memberikan Anda berbagai kenikmatan di dunia ini. Anda memiliki uang yang banyak, harta yang melimpah, rumah mewah, mobil mahal dan sebagainya, namun semua itu justru membuat Anda lalai dan tidak pernah bersyukur kepada-Nya. Ini adalah bencana bagi Anda. Dia mengazab Anda dengan sesuatu yang tidak Anda sadari. Anda menyangka nikmat, padahal bencana. 


Jikalau Anda merasakan kesengsaraan hidup di dunia ini; padahal Anda telah taat menjalankan semua perintah-Nya, maka bisa jadi Anda akan mendapatkan kenikmatan yang lebih baik di Akhirat kelak, yaitu surga-Nya. kesengsaraan yang Anda rasakan di dunia akan segera lenyap ketika Anda melangkahkan kaki di surga-Nya. Seluruh kenikmatan yang selama ini belum Anda dapatkan, maka Anda akan  merasakannya disana. 


Lebih baik dari itu adalah apabila Anda mendapatkan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Dan itu adalah harapan setiap muslim. Mudah-mudah kita semua mendapatkannya

Intervensi Nafsu Dalam Lapang dan Sempit

Intervensi Nafsu Dalam Lapang dan Sempit


Hikmah Kedelapan Puluh Tiga

الْبَسْطُ تَأْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهَا بِوُجُوْدِ الْفَرْحِ, وَالْقَبْضُ لَا حَظَّ لِلنَّفْسِ فِيْهِ

“Nafsu mengambil peranan dalam masa lapang, yaitu dengan kebahagiaan. Dan nafsu tidak ada peranan dalam masa sempit.”


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Biasanya, ketika seseorang mendapatkan kelapangan, baik harta maupun nikmat lainnya, ia senang dan bahagia. Jikalau tidak hati-hati, maka ini adalah jalan masuknya nafsu. Ketika itu ia akan meremehkan orang-orang yang kurang darinya, baik kurang harta maupun kurang bahagia atau sedang menderita. Ini adalah bentuk adab yang buruk terhadap makhluk. 


Lebih parah lagi, jikalau tidak hati-hati, maka ia akan terjerumus dalam sikap kurang ajar terhadap Allah Swt, misalnya merasa hebat dan sombong karena berhasil mendapatkan kelapangan. Ia merasa, bahwa semua yang didapatkannya adalah hasil kerja kerasnya dan buah keringatnya. Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu. Semua yang didapatkannya adalah karunia-Nya. 


Ini berbanding terbalik dengan kesempitan. Dalam keadaan ini, tidak ada intervensi nafsu. Jiwanya sudah dipenuhi keresahan, kegelisahan dan kebutuhan kepada-Nya. Bagaimana mungkin ia akan menjauhi-Nya; padahal ia justru sangat membutuhkan-Nya. Ia akan semakin menjaga adab-adabnya bersama-Nya, sehingga bisa mendapatkan curahan rahmat-Nya dan rezki-Nya.  

Antara Kelapangan dan Kesempitan

Antara Kelapangan dan Kesempitan


Hikmah Kedelapan Puluh Dua

الْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوْا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا, وَلَا يَقِفُ عَلَى حُدُوْدِ الْأَدَبِ فِي الْبَسْطِ إِلَّا قَلِيْلٌ

“Orang-orang Arif lebih takut jikalau dilapangkan daripada disempitkan. Tidak ada yang mampu menjaga batasan-batasan adab ketika lapang, kecuali sedikit.”


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Orang-orang yang Arif lebih takut menghadapi kekayaan daripada kemiskinan. Dalam kehidupan sehari-hari Anda bisa menyaksikan, jutaan kaum muslimin yang tergelincir dalam jurang kemaksiatan karena rayuan harta. Seseorang yang dulu shaleh dan rajin ke Mesjid, tiba-tiba kehidupannya berubah 180 derajat. Tidak mau ke Mesjid, bahkan cenderung menjauhi. Seseorang yang dulunya rajin berdakwah dan beribadah, sekarang harus larut dalam kefuturannya dan kelalaiannya, karena tuntunan harta selalu membuatnya sibuk. 

Berbeda halnya dengan kemiskinan. Di satu sisi, ia memang mendekatkan kepada kekufuran; sebagaimana sabda Rasulullah Saw. Namun di sisi lain, jikalau keimanan kuat, keadaan justru lebih akan mendekatkan kepada-Nya. Seorang yang hidup sempit dan menderita, lebih besar kemungkinan mendekatkan diri kepada-Nya, karena ia merasa hina dan butuh kepada-Nya. 

Semenjak zaman dahulu sampai sekarang ini, masih menjadi perdebatan hebat di antara para ulama tentang siapa yang paling mulia di sisi-Nya: Orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar.

Masing-masing kelompok ini memiliki kedudukan istimewa di sisi-Nya. Selama orang kaya mau mensyukuri nikmat-Nya, yaitu dengan mengeluarkan zakatnya dan memamfaatkannya di jalan kebenaran, tentu ia akan mendapatkan keutamaan di sisi-Nya. Di sisi lain, jikalau seorang miskin mampu bersabar menghadapi kesempitan hidupnya, tentu ia layak menempati surga Ar-Rahman.

Namun ada satu hal yang bisa memuliakan orang kaya yang bersyukur, yaitu ketika ia bisa melakukan semua ibadah yang dilakukan oleh orang miskin, seperti shalat, zikir, puasa dan sebagainya, plus ia bisa menyumbangkan hartanya di jalan-Nya. Dan point terakhir ini tidak bisa dilakukan oleh orang miskin. 

Intinya, apapun yang menimpa Anda, baik kelapangan maupun kesempitan, maka bersikap bijaklah. Jikalau lapang, jangan sombong dan terlena. Jikalau sempit, maka janganlah putus asa. Kembalilah kepada-Nya, karena itulah adalah sebaik-baik tempat kembali

Kembali Kepada Allah Swt

Kembali Kepada Allah Swt


Hikmah Kedelapan Puluh Satu

بَسَطَكَ كَيْ لَا يُبْقِيَكَ مَعَ الْقَبْضِ وَقَبَضَكَ كَيْ لَا يَتْرُكُكَ مَعَ الْبَسْطِ وَأَخْرَجَكَ عَنْهُمَا كَيْ لَا تَكُوْنَ لِشَيْءٍ دُوْنَهُ

“Allah Swt memberikanmu kelapangan, agar  engkau tidak selamanya berada dalam kesempitan. Dan Dia menyempitkanmu, agar engkau tidak selamanya berada dalam kelapangan. Dia mengeluarkanmu dari kedua keadaan di atas, agar engkau tidak bergantung dengan selain-Nya.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Allah Swt memberikan kelapangan hidup, agar Anda tidak selamanya menjalani hidup menderita. Dia memberimu rezki, agar Anda bisa makan, minum, memiliki rumah, kekayaan dan sebagainya. Dia juga menganugerahkan Anda keindahan, kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Semua itu merupakan salah satu bentuk nikmat-Nya kepadamu. 

Pada saat yang bersamaan, Dia juga memberikan kesempitan hidup, agar Anda tidak selamanya berada dalam kelapangan. Kadang-kadang Anda merasakan kesusahan hidup, sehingga tidak mendapatkan apapun yang akan Anda dimakan. Perut lapar, namun uang tidak ada. Atau Anda memiliki uang, namun Anda ditimpakan penyakit, sehingga Anda tidak bisa menikmati apa yang diberikan-Nya. 

Silih bergantinya antara kebahagiaan dan kesempitan hidup memiliki hikmah tersendiri, yang kadang-kadang sulit dicerna kecuali oleh orang-orang yang diberikan hidayah-Nya. Coba Anda bayangkan, ketika Anda berada dalam masa sulit, siapakah yang pertama kali Anda ingat?  Pasti Allah Swt, karena itu adalah fithrah manusia, yang akan kembali kepada Pencipta-Nya ketika sulit. 

Jikalau seandainya Anda terus-menerus berada dalam kelapangan, tentu Anda akan mudah tergelincir dan merasa hebat, karena Anda tidak pernah merasakan kesusahan sedikitpun. Namun biasanya, kenikmatan itu baru akan terasa nikmat ketika ada kesusahan. 

Oleh karena itu, semua yang menimpa Anda, baik kebahagiaan dan kesusahan, tujuannya hanyalah untuk mendekatkan Anda kepada-Nya. Ingatlah hal itu dan jangan lupakan. Maka Anda akan bahagia selama-lamanya.  

Permintaan Orang yang Arif

Permintaan Orang yang Arif


Hikmah Kedelapan Puluh 

مَطْلَبُ الْعَارِفِيْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى الصِّدْقُ فِي الْعُبُوْدِيَّةِ وَالْقِيَامُ بِحُقُوْقِ الرُّبُوْبِيَّةِ

“Permintaan orang-orang Arif kepada Allah Swt adalah kebenaran dalam Ubidiyyah dan menjalankan hak-hak Rububiyyah.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Orang yang Arif tidak terobsesi meminta sesuatu yang berhubungan dengan dunia. Rasanya sudah menyatu dengan ibadah, sehingga dalam fikirannya yang ada hanyalah ketaatan. Jikalau ada permintaannya, maka itu selalu berhubungan dengan upaya mendekatkan diri kepada-Nya. 

Sosok seperti ini hanyalah meminta kejujuran dalam ibadahnya, yaitu menempatkan-Nya sebagai Zat yang Maha Esa dan satu-satunya Penguasa di alam semesta ini. Ia menyadari bahwa dirinya tidak mampu memberikan mamfaat maupun mudharat kepada siapapun. Ia hanyalah hamba yang lemah dan tidak mampu mnelakukan apapun tanpa seizin-Nya. Oleh karena itu, ia selalu berusaha mengagungkan-Nya dan memuliakan-Nya, menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Ketaatan kepada-Nya adalah harga mati yang tidak bisa ditawar dengan apapun. 

Ia menghempaskan dirinya di hadapan-Nya untuk menyembah-Nya dan menghadapkan diri kepada-Nya. Jikalau ada yang diinginkan-Nya di dunia ini, maka itu hanyalah keridhoan-Nya. Hak Ubudiyyah adalah hak-Nya semata. Tidak ada seorangpun yang layak dan berhak memilikinya. Itu adalah hak Zat yang Maha Kuasa.  

Harapan dan Amalan

Harapan dan Amalan


Hikmah Ketujuh Puluh Sembilan 

الرُّجَاءُ مَا قَارَنَهُ عَمَلٌ, وَإِلَّا فَهُوَ أُمْنِيَّةٌ

“Harapan adalah sesuatu yang diikuti oleh amalan. Jikalau tidak, maka ia hanyalah angan-angan.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Penyakit orang ingin sukses yang paling berbahaya adalah khayalan tanpa aksi. Berapa banyak orang yang memimpikan sesuatu yang besar dan agung, namun tidak ada aksinya, sehingga cita-cita itu hanya berada dalam penjara angan-angan belaka. 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendapati seorang miskin yang berhasrat menjadi orang kaya dan memperbaiki taraf kehidupannya. Namun karena tidak ada aksi, akhirnya ia hanya merasa dan terus-menerus mencicipi derita kemiskinannya. Jikalau ingin sukses, maka buatlah rencana, matangkanlah dan beraksilah. 

Begitu juga halnya dalam ibadah. Jikalau Anda menginginkan surga atau menjadi hamba-Nya yang dicintai-Nya, kemudian Anda hanya duduk-duduk merenung belaka, tanpa mau mengerjakan amal shaleh, tentu hal itu tidak ada gunanya, bahkan Anda termasuk dalam golongan orang-orang yang bejat dan tidak menggunakan akalnya. 

Jikalau akal Anda berfungsi dengan baik, tentu Anda tidak larut dalam mimpi-mimpi kosong. Padi di sawah tidak akan tumbuh hanya dengan melihat saja, namun harus ditanam terlebih dahulu. 

Ingatlah, berharaplah dan bermimpilah, setelah itu beramallah.  

Orang yang Arif

Orang yang Arif


Hikmah Ketujuh Puluh Delapan

مَا الْعَارِفُ مَنْ أَشَارَ وَجَدَ الْحَقَّ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ إِشَارَتِهِ, بَلِ الْعَارِفُ مَنْ لَا إِشَارَةَ لَهُ لِفَنَاءِهِ فِي وُجُوْدِهِ وَانْطِوَائِهِ فِي شُهُوْدِهِ

“Tidak bisa disebut orang yang Arif, seseorang yang jikalau memberi isyarat, maka ia merasa mendapati Allah Swt lebih dekat kepadanya dari isyaratnya. Akan tetapi orang yang Arif adalah orang yang tidak memberikan isyarat karena fana dalam wujud-Nya dan larut dalam penyaksian-Nya.”  


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Tidak bisa disebut orang yang Arif dan bijaksana, seseorang yang apabila ditunjukkan sesuatu yang menunjukkan Allah Swt, maka ia merasa lebih dekat kepada-Nya karena merasakan kehadiran-Nya. Misalnya, ketika Anda mengungkapkan bahasa-bahasa kiasan yang menunjukkan eksistensi-Nya, maka itu bukan berarti Anda termasuk orang-orang yang Arif. Kata-kata hikmah yang biasanya keluar dari mulut Ahli Hikmah atau para Shalihin adalah efek kedekatannya dengan sang Pencipta, bukan buatan semata. 

Jikalau Anda perhatikan perkembangan sastra di dunia ini, berapa banyak di antara mereka yang mampu membuat kata-kata indah dan syair-syair menawan, namun aqidahnya tidaklah lurus, bahkan tidak benar. 

Orang yang Arif adalah orang yang larut dalam wujud-Nya. Sekali lagi penulis tegaskan, bahwa ini bukanlah berarti Wihdatul Wujud, yang merupakan sebuah faham sesat dalam Tasawuf. Ini adalah larutnya seorang hamba dalam ibadahnya dan merasa nikmat menjalankannya. 

Jikalau seorang hamba telah mencapai tingkatan ini, maka ia akan mampu mengeluarkan kata-kata indah dan bijaksana dengan sendirinya, bukan dipaksa-paksakan. Ibarat seseorang yang sedang jatuh cinta, kata-kata yang keluar dari lisannya adalah kata-kata romantis yang ia sendiri bingung; bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari lisannya. 

Cinta dan kerinduan memang bisa membuat seseorang yang tidak mengenal syair menjadi penyair ulung, membuat seorang penakut menjadi pemberani. Dan itulah efek yang dirasakan oleh orang-orang yang larut dalam penyaksian-Nya, yaitu kebijaksanaan/kearifan.  

Tanda Tertipu

Tanda Tertipu


Hikmah Ketujuh Puluh Tujuh

الْحُزْنُ عَلَى فُقْدَانِ الطَّاعَةِ مَعَ عَدَمِ النُّهُوْضِ إِلَيْهَا مِنْ عَلَامَاتِ الْاِغْتِرَارِ

“Bersedih ketika kehilangan kesempatan menjalankan ketaatan, tanpa adanya usaha untuk bangkit mengerjakannya merupakan salah satu tanda tertipu.”


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Jikalau Anda tidak sempat atau kehilangan moment menjalankan suatu ketaatan, kemudian Anda bersedih, maka itu adalah tanda kebaikan dan Anda akan mendapatkan ganjaran khusus dari Allah Swt. Hanya saja, jikalau Anda terus larut dalam kesedihan dan sama sekali tidak bangkit mengerjakannya, maka itu adalah tanda ketertipuan. 

Jikalau, misalnya, hari ini Anda melewatkan waktu berpuasa sunnah, kemudian Anda menyesal, namun hanya menyesal saja, maka itu tidak ada mamfaatnya sama sekali. Point paling penting yang perlu Anda kerjakan adalah lansung bergerak dan beraksi, jangan hanya menunggu dan bersedih. 

Ibarat cita-cita, jikalau Anda hanya bisa mengkhayal dan bermimpi, maka itu sama sekali tidak akan merubah keadaan. Sama halnya ketika Anda bercita-cita menjadi pengusaha sukses, namun yang Anda kerjakan hanyalah tidur dan bermimpi belaka, maka tidak ada hasil yang akan Anda dapatkan. 

Sesalilah moment ketaatan yang Anda lewatkan, tetapi jangan larut. Segeralah beraksi dan hempaskan segala kelalaian.  

Menjalankan Perintah Allah Swt

Menjalankan Perintah Allah Swt


Hikmah Ketujuh Puluh Enam

خَيْرُ مَا تَطْلُبُهُ مِنْهُ مَا هُوَ طَالِبُهُ مِنْكَ

“Sebaik-baik yang engkau minta kepada Allah Swt adalah sesuatu yang diminta-Nya darimu.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering meminta dan memohon kepada Allah Swt, baik materi, ketenangan jiwa, terlepas dari bencana dan sebagainya. Dan sebaik-baik permintaan kita kepada-Nya adalah kemampuan kita untuk menjalankan perintah-Nya.

Jikalau Anda diperintahkan-Nya untuk mengerjakan shalat, maka kerjakanlah. Jikalau Anda diperintahkan-Nya berpuasa pada bulan Ramadhan, maka kerjakanlah. Jikalau Anda diperintahkan-Nya mengeluarkan zakat, maka keluarkanlah. Intinya, apapun yang diperintahkan-Nya, maka kerjakanlah, karena itu adalah jalan pembuka yang akan menuntun Anda menuju karunia-Nya; walaupun Anda sendiri tidak mengungkapkannya. 

Semua perintah-Nya dan larangan-Nya bertujuan mengeluarkanmu dari siksaan-Nya dan memasukkanmu dalam lingkaran nikmat-Nya. Jadi, janganlah enggan untuk menjalankan setiap detail perintah-Nya, karena itu adalah gerbang menuju rahmat-Nya

Nikmat Ketaatan

Nikmat Ketaatan


Hikmah Ketujuh Puluh Lima

مَتَى رَزَقَكَ الطَّاعَةَ وَالْغِنَى بِهِ عَنْهَا فَاعْلَمْ أَنَّهُ قَدْ أَسْبَغَ عَلَيْكَ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

“Ketika Allah Swt mengaruniakan ketaatan kepadamu dan merasa cukup dengannya, berarti Dia telah mencurahkan berbagai nikmat-Nya kepadamu, baik lahir maupun batin.” 


(Ibn Athaillah al-Sakandari)

[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]


Jikalau Allah Swt mengaruniakan Anda rasa ketaatan kepada-Nya, sehingga Anda melalui setiap detik kehidupan dengan unsur-unsur ibadah kepada-Nya, kemudian Anda merasa cukup dengannya, berarti Anda telah mendapatkan kenikmatan-Nya yang besar. 

Ketaatan itu bukan dalam bentuk lahir semata, seperti mengerjakan shalat, menunaikan zakat dan sebagainya, namun juga ketaatan hati, seperti kerinduan menjalankan perintah-Nya, takut melanggar perintah-Nya dan sebagainya. 

Anda harus sadar, bahwa semua kenikmatan yang Anda peroleh adalah karunia-Nya dan kebaikan-Nya kepada Anda, bukan karena ketaatan yang Anda lakukan. Jangan pernah menyangka, bahwa ketaatan Andalah yang menyebabkan semua ini. Tidak, sama sekali tidak. Ini semata-mata hanyalah karunia-Nya, dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan limpahan harta dan materi yang diidam-idamkan oleh para pemburu dunia. 

Ketaatan adalah nikmat terbesar di dunia ini, yang akan mengantarkan Anda menuju nikmat-Nya yang lebih besar lagi di Akhirat kelak. Salah satunya adalah surga, yang kenikmatannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata